Rabu, 05 Desember 2012

the moon

“The Moon”
    Aku jatuh cinta? Entahlah. Rasa itu benar-benar jauh dari benakku. Bahkan aku telah lupa saat terakhir aku merasakannya. Tak ada yang mampu menutupi lubang dalam jiwaku, semuanya kosong tanpa arti, bahkan gelappun tak mampu menghilangkannya. Api itu terlalu membakar, membuat segalanya musnah tak bersisa.
    Pagi akhirnya datang, ia hadir dengan sejuta cahaya. Aku terlena, tak mampu berkedip sedetik saja untuk melewatkannya. Sinarnya mampu merubah segalanya.
    Lima tahun lalu saat dia membawa seikat mawar dengan kertas kecil berbalut lilin, membawa aroma baru dalam hidupku. Ia memberikanku penerangn untuk memulai langkah ku yang mulai tersesat. Aku tersenyum menyambutnya, meski ku coba untuk menyembunyikan girangku. Aku malu mengatakannya, aku tersipu dibalik cahaya rembulan yang terhalang pohon rindang disamping rumahku. Bahkan aku tak percaya. Aku memulai kisah itu disaksikan putih abu-abu kebanggaanku “I love you too”
    Dunia dalam genggamku. Ah tidak, tetapi dalam genggam kita. Tak ada amarah yang tak mampu diredam, semua luluh dalam cinta. Mawar juga tak henti bermekaran, sekaligus bayangannya tak pernah lepas dari anganku, ini gila.
    Pagi ini cerah, aku melihat senyum itu kembali dibalik helm yang ia kenakan. Kita siap mengukir cerita hari ini
“Morning, Baby?”
Aq tersenyum melangkah didekatnya
Ia bahkan lebih dari sekedar mentari pagi, semangat itu selalu ia toreh disetiap nafas yang ia hembuskan. Aku hidup bersama separuh detak jantungnya, darah ini mengalir bersama cinta yang ia persembahkan
    Kisah ini takkan berakhir dalam gelap, rasa ini tetap menyala bahkan saat hati dan otakku tak bergerak.
“Baby, bernafaslah denganku”
Panggilan itu yang membuat jalan didepanku lurus tak berujung, aku selalu ingin lama berada didekatnya.
***
    Hari terus mengukir sejarah, bagi mereka kali ini patut bersorak ria. Aku lihat Iin, Inez, Aya dan Rehan, sahabat-sahabatku berpelukan penuh tawa. Hari yang menjadi kebanggaan itu tiba, tradisi mencoret-coret seragam takkan absen dari agenda, berbagi tanda tangan terakhir dalam putih abu-abu sebagai pesan bahwa mereka nyata, sebagai memory bahwa kita pernah mengukir cerita. Di tempat ini, tempat dimana aku menjadi satu-satunya putrid yang bertahta dalam  hati Alif.
“Baby?” --- “kita berhasil” ia terlihat begitu bahagia. Entah apa yang ada dalam fikirku, yang aku tau aku seperti berdiri dalam gelap. Aku ketakutan bukan tanpa alas an, karena ini mungkin akan jadi kenangan.
“setelah ini?” lirihku. Nada tak pasti yang aku ungkap demi ketakutanku
“kenapa?” dia berkernyit
“aku takut” bisikku menatap dalam mata indah itu
“aku selalu ada untuk mu” dia berusaha membuatku merasa nyaman.
***
    Langitku terlihat anggun, angin berlambai tanpa beban, tatapan itu biasa aku lihat disini, ditempat kita bersama. Mentari berusaha pamit sejenak, tak ada masalah. Aku lebih suka bulan merah jambu. Seperti biasa, aku bersama dengannya disini hingga lukisan kuning itu berubah jadi taburan kerikil para malaikat. Aku berbaring menatap lukisan Tuhan pada langit, satu persatu bintang itu menghiasi semesta. Dia berbaring disampingku, yang aku lihat hanya wajahnya yang begitu dekat berada tepat didepan mataku
“Baby”
Aku menatapnya dalam, ada sejuta cinta disana
“Baby, listen to me” nadanya berubah serius
“ada apa?” aku penasaran
“kau tau, kamu satu-satunya cahaya dalam gelapku, kamu satu-satunya alasan kenapa aku mampu tersenyum saat ini” ia menatap jauh ke atas sana, aku terharu mendengar itu
“tapi aku harus pergi” tambahnya
“kemana?” aku tak mengerti
“aku pergi untuk sementara, sebelum aku kembali menjemputmu dan membawamu lari menuju istana suci” ----- “aku akan melanjutkan kuliah keluar kota, tentang rencanamu untuk melanjutkan kuliah disini, aku tidak bisa menemanimu”
“how long?”
“secepatnya” ia menggenggam erat tanganku
“I’ll be right here waiting for you”
“really?”
Aku mengangguk pelan, tanpa terasa ada yang meleleh dari mataku. Sudah aku tebak bahwa dia akan pergi. Dia menghapus mutiara-mutiara itu seakan dia tidak rela ia menetes.
***
    Lihat embun itu, satu persatu lenyap tersengat hangat mentari. Aku bergegas menuju kammpus bersama sahabat baruku, Marwah. Kami tinggal satu kos-an, sesekali Iin, Inez, dan Aya menemuiku, sedangkan Rehan, aku dengar ia kuliah ke luar negeri memenuhi panggilan beasiswa.
    Aku lihat langit kali ini mendung, aku ingat saat terakhir kali Alif bersama dengan ku. Ya, aku sangat merindukannya. Marwah setia mendengarkan setiap kisah yang aku ceritakan. Kenangan dibawah bulan yang anggun, saat dia tak pernah lelah menyemangatiku. Kini tanganku dingin, jari-jari itu tak lagi aku rasa. Jari yang selalu memegang erat tanganku, aku terlalu rindu meski sesekali Alif menghubungiku. Aku mengeluarkan semua rindu itu, aku rasa ia mengerti disana.
***
    Hari terus berlalu, siang dan malam masih teratur mengantarkan setiap kisah-kisahku. Lama sekali aku tidak mendengar suaranya, ia berubah seakan semakin jauh. Ia tak lagi mengunjungi bulan bersamaku, entah kesibukan apa yang tengah menyita waktunya. Aku selalu menunggu saat ia berkata cinta, aq rindu pada setiap kasih yang ia berikan, kini ia jauh dari pandang mata. ‘Secepatnya’ itu yang aku dengar, tapi kapan?
    Masa liburan telah tiba, saatnya melepas penat dari tumpukan tugas-tugas kuliah, aku berniat mengajak Marwah mengelilingi taman hari ini, tapi aku dengar ia telah pergi pagi-pagi sekali. Entahlah, dia sama sekali tidak berucap padaku.
    Angin pagi mungkin akan mampu menyapu semua debu dalam otakku, meski tanpa teman aku rasa aku mampu untuk sekedar keliling taman sembari mengenang kisah-kisah itu. Ah.. seandainya ia disini.
    Pohon rindang. Tempat itu yang selalu kita pilih saat memekarkan setiap kuncup-kuncup cinta, indah memang. Kini hanya aku dan rasa rinduku. Ngilu.
    Matahari tiba-tiba tenggelam, seketika alamku gelap. Pemandangan didepan mata membuat jantungku berhenti berdetak. Dua mahluk indah itu? Aku berdiri mematung, dunia seakan meruntuh bersama puing-puing hatiku yang gugur. Aku memilih pergi membawa diri. Ada langkah yang mengikutiku dari belakang. Tuhan, sungguh ini semua tak bisa aku terima, aku tidak bisa mempercayainya
“Baby?”
Tak ada lagi kekuatan yang bisa aku tunjukan, aku mematung merasakan sakit seketika. Ia membalikkan tubuhku, aku tak kuasa, aku tak mampu menatapnya seperti dulu. Ia mengangkat kepalaku , aku melihat sosok itu berjalan mendekat. Ya, dia sahabatku, Marwah meremukkan jantungku
“Baby, forgive me” sesalnya memintaku menatap. Aku melihat tentang awan hitam dimata Marwah, aku tak bergeming, ia mungkin tak melihat tentang api yang siap membakar jasadnya. Tak ada yang bisa dijadikan alas an, kini aku mengerti. Maka.. biarkan aku yang pergi
“kau tak perlu menepati janjimu” lirihku sembari melangkah menjauh
“Baby?” ia berusaha menahanku, tapi percuma.
    Marwah, aku tak peduli lagi. Lakukan mau kalian, aku mengadu pada bulan yang tak jua purnama. Percuma saja, tak ada yang perlu aku mengerti, tak ada lagi makna yang harus aku cari, bahkan cahaya itu seketika meredup. Aku? Aku bukan lagi satu-satunya putrid dalam istanamu, aku bukan lagi mawar dalam hatimu, duri itu hadir saat aku lengah, ia menusuk sekaligus isi hatiku. Nafas itu, bukan aku satu-satunya jiwa yang ia tuju. Lalu beginikah akhir dari kisah menuju istana suci seperti yang kau janjikan?
Rembulanku, aku tak mampu lagi. Bawa aku terbang, jika tidak maka biarkan aku memilih mentari untuk membakar semua rasa sakit ini. Cinta yang aku banggakan telah mematahkan segalanya.
“forgive me”
Aku tidak peduli dengan suara itu, terserah.
“marwah?” aq membelakanginya “besok aku pergi”tambahku
“aku tidak tahu bahwa dia pangeranmu, aku tidak tau bahwa Alif dan Rajamu itu adalah orang yang sama, karena yang aku tau dia adalah pangeran yang paling sempurna didunia ini, aku minta maaf”
Aku tau, bukan kau yang salah. Mungkin kamulah yang lebih sempurna dimatanya sehingga dia berpaling dan memilih untuk berpijak dihatimu, biarkan aku yang pergi. Sudah terlalu lama aku hidup dalam hatinya, mungkin kini mawarku telah layu, tak ada lagi yang menarik dalam diriku. Dan luka ini takkan pernah bisa kalian rasa,  semua ini terjadi tanpa aku mau.
***
Bumiku basar oleh lelehan darah dari hati terdalamku, bahkan awan gelap itu mengintai nyawaku. Lalu dimana aku harus bersembunyi? Luka ini terus saja mengikutiku, sampai aku tak mampu lagi bernafas. Detak ini berhenti semenjak aku tahu dia memilih hati yang lain, bukan aku tapi dia sahabatku sendiri. Aku berjalan lunglai tanpa arti, tanpa sengaja gerbang biru itu membuyarkan lamunku, gerbang biru masa lalu. Saksi bisu itu, bayangan itu memenuhi setiap ruang dalam ilusiku. Aku tau tak ada lagi kekuatan untuk melawan arus. Aku berlari menjauhi kenangan kenangan itu. Aku tersesat dalam luka yang kalian buat, kalian yang membuatku hidup dan kalian pula yang memusnahkan seluruh inci dari jiwaku. Kini ragaku tak berpenghuni, aku merasa semuanya telah hilang sampai aku tertatih dan roboh dibalik hujan.

3 komentar:

  1. subhanallah indah skali wanda

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ne pujian jujur apa b0'0nk nech?
      Ato biar ane seneng adja?
      Btw, makash yaah.. :-)

      Hapus
    2. jujur dr lubuk ht terdalam,
      Demi allah kreasi penamu indah nian,wanda..
      Sm2

      Hapus