Rabu, 05 Desember 2012

the moon

“The Moon”
    Aku jatuh cinta? Entahlah. Rasa itu benar-benar jauh dari benakku. Bahkan aku telah lupa saat terakhir aku merasakannya. Tak ada yang mampu menutupi lubang dalam jiwaku, semuanya kosong tanpa arti, bahkan gelappun tak mampu menghilangkannya. Api itu terlalu membakar, membuat segalanya musnah tak bersisa.
    Pagi akhirnya datang, ia hadir dengan sejuta cahaya. Aku terlena, tak mampu berkedip sedetik saja untuk melewatkannya. Sinarnya mampu merubah segalanya.
    Lima tahun lalu saat dia membawa seikat mawar dengan kertas kecil berbalut lilin, membawa aroma baru dalam hidupku. Ia memberikanku penerangn untuk memulai langkah ku yang mulai tersesat. Aku tersenyum menyambutnya, meski ku coba untuk menyembunyikan girangku. Aku malu mengatakannya, aku tersipu dibalik cahaya rembulan yang terhalang pohon rindang disamping rumahku. Bahkan aku tak percaya. Aku memulai kisah itu disaksikan putih abu-abu kebanggaanku “I love you too”
    Dunia dalam genggamku. Ah tidak, tetapi dalam genggam kita. Tak ada amarah yang tak mampu diredam, semua luluh dalam cinta. Mawar juga tak henti bermekaran, sekaligus bayangannya tak pernah lepas dari anganku, ini gila.
    Pagi ini cerah, aku melihat senyum itu kembali dibalik helm yang ia kenakan. Kita siap mengukir cerita hari ini
“Morning, Baby?”
Aq tersenyum melangkah didekatnya
Ia bahkan lebih dari sekedar mentari pagi, semangat itu selalu ia toreh disetiap nafas yang ia hembuskan. Aku hidup bersama separuh detak jantungnya, darah ini mengalir bersama cinta yang ia persembahkan
    Kisah ini takkan berakhir dalam gelap, rasa ini tetap menyala bahkan saat hati dan otakku tak bergerak.
“Baby, bernafaslah denganku”
Panggilan itu yang membuat jalan didepanku lurus tak berujung, aku selalu ingin lama berada didekatnya.
***
    Hari terus mengukir sejarah, bagi mereka kali ini patut bersorak ria. Aku lihat Iin, Inez, Aya dan Rehan, sahabat-sahabatku berpelukan penuh tawa. Hari yang menjadi kebanggaan itu tiba, tradisi mencoret-coret seragam takkan absen dari agenda, berbagi tanda tangan terakhir dalam putih abu-abu sebagai pesan bahwa mereka nyata, sebagai memory bahwa kita pernah mengukir cerita. Di tempat ini, tempat dimana aku menjadi satu-satunya putrid yang bertahta dalam  hati Alif.
“Baby?” --- “kita berhasil” ia terlihat begitu bahagia. Entah apa yang ada dalam fikirku, yang aku tau aku seperti berdiri dalam gelap. Aku ketakutan bukan tanpa alas an, karena ini mungkin akan jadi kenangan.
“setelah ini?” lirihku. Nada tak pasti yang aku ungkap demi ketakutanku
“kenapa?” dia berkernyit
“aku takut” bisikku menatap dalam mata indah itu
“aku selalu ada untuk mu” dia berusaha membuatku merasa nyaman.
***
    Langitku terlihat anggun, angin berlambai tanpa beban, tatapan itu biasa aku lihat disini, ditempat kita bersama. Mentari berusaha pamit sejenak, tak ada masalah. Aku lebih suka bulan merah jambu. Seperti biasa, aku bersama dengannya disini hingga lukisan kuning itu berubah jadi taburan kerikil para malaikat. Aku berbaring menatap lukisan Tuhan pada langit, satu persatu bintang itu menghiasi semesta. Dia berbaring disampingku, yang aku lihat hanya wajahnya yang begitu dekat berada tepat didepan mataku
“Baby”
Aku menatapnya dalam, ada sejuta cinta disana
“Baby, listen to me” nadanya berubah serius
“ada apa?” aku penasaran
“kau tau, kamu satu-satunya cahaya dalam gelapku, kamu satu-satunya alasan kenapa aku mampu tersenyum saat ini” ia menatap jauh ke atas sana, aku terharu mendengar itu
“tapi aku harus pergi” tambahnya
“kemana?” aku tak mengerti
“aku pergi untuk sementara, sebelum aku kembali menjemputmu dan membawamu lari menuju istana suci” ----- “aku akan melanjutkan kuliah keluar kota, tentang rencanamu untuk melanjutkan kuliah disini, aku tidak bisa menemanimu”
“how long?”
“secepatnya” ia menggenggam erat tanganku
“I’ll be right here waiting for you”
“really?”
Aku mengangguk pelan, tanpa terasa ada yang meleleh dari mataku. Sudah aku tebak bahwa dia akan pergi. Dia menghapus mutiara-mutiara itu seakan dia tidak rela ia menetes.
***
    Lihat embun itu, satu persatu lenyap tersengat hangat mentari. Aku bergegas menuju kammpus bersama sahabat baruku, Marwah. Kami tinggal satu kos-an, sesekali Iin, Inez, dan Aya menemuiku, sedangkan Rehan, aku dengar ia kuliah ke luar negeri memenuhi panggilan beasiswa.
    Aku lihat langit kali ini mendung, aku ingat saat terakhir kali Alif bersama dengan ku. Ya, aku sangat merindukannya. Marwah setia mendengarkan setiap kisah yang aku ceritakan. Kenangan dibawah bulan yang anggun, saat dia tak pernah lelah menyemangatiku. Kini tanganku dingin, jari-jari itu tak lagi aku rasa. Jari yang selalu memegang erat tanganku, aku terlalu rindu meski sesekali Alif menghubungiku. Aku mengeluarkan semua rindu itu, aku rasa ia mengerti disana.
***
    Hari terus berlalu, siang dan malam masih teratur mengantarkan setiap kisah-kisahku. Lama sekali aku tidak mendengar suaranya, ia berubah seakan semakin jauh. Ia tak lagi mengunjungi bulan bersamaku, entah kesibukan apa yang tengah menyita waktunya. Aku selalu menunggu saat ia berkata cinta, aq rindu pada setiap kasih yang ia berikan, kini ia jauh dari pandang mata. ‘Secepatnya’ itu yang aku dengar, tapi kapan?
    Masa liburan telah tiba, saatnya melepas penat dari tumpukan tugas-tugas kuliah, aku berniat mengajak Marwah mengelilingi taman hari ini, tapi aku dengar ia telah pergi pagi-pagi sekali. Entahlah, dia sama sekali tidak berucap padaku.
    Angin pagi mungkin akan mampu menyapu semua debu dalam otakku, meski tanpa teman aku rasa aku mampu untuk sekedar keliling taman sembari mengenang kisah-kisah itu. Ah.. seandainya ia disini.
    Pohon rindang. Tempat itu yang selalu kita pilih saat memekarkan setiap kuncup-kuncup cinta, indah memang. Kini hanya aku dan rasa rinduku. Ngilu.
    Matahari tiba-tiba tenggelam, seketika alamku gelap. Pemandangan didepan mata membuat jantungku berhenti berdetak. Dua mahluk indah itu? Aku berdiri mematung, dunia seakan meruntuh bersama puing-puing hatiku yang gugur. Aku memilih pergi membawa diri. Ada langkah yang mengikutiku dari belakang. Tuhan, sungguh ini semua tak bisa aku terima, aku tidak bisa mempercayainya
“Baby?”
Tak ada lagi kekuatan yang bisa aku tunjukan, aku mematung merasakan sakit seketika. Ia membalikkan tubuhku, aku tak kuasa, aku tak mampu menatapnya seperti dulu. Ia mengangkat kepalaku , aku melihat sosok itu berjalan mendekat. Ya, dia sahabatku, Marwah meremukkan jantungku
“Baby, forgive me” sesalnya memintaku menatap. Aku melihat tentang awan hitam dimata Marwah, aku tak bergeming, ia mungkin tak melihat tentang api yang siap membakar jasadnya. Tak ada yang bisa dijadikan alas an, kini aku mengerti. Maka.. biarkan aku yang pergi
“kau tak perlu menepati janjimu” lirihku sembari melangkah menjauh
“Baby?” ia berusaha menahanku, tapi percuma.
    Marwah, aku tak peduli lagi. Lakukan mau kalian, aku mengadu pada bulan yang tak jua purnama. Percuma saja, tak ada yang perlu aku mengerti, tak ada lagi makna yang harus aku cari, bahkan cahaya itu seketika meredup. Aku? Aku bukan lagi satu-satunya putrid dalam istanamu, aku bukan lagi mawar dalam hatimu, duri itu hadir saat aku lengah, ia menusuk sekaligus isi hatiku. Nafas itu, bukan aku satu-satunya jiwa yang ia tuju. Lalu beginikah akhir dari kisah menuju istana suci seperti yang kau janjikan?
Rembulanku, aku tak mampu lagi. Bawa aku terbang, jika tidak maka biarkan aku memilih mentari untuk membakar semua rasa sakit ini. Cinta yang aku banggakan telah mematahkan segalanya.
“forgive me”
Aku tidak peduli dengan suara itu, terserah.
“marwah?” aq membelakanginya “besok aku pergi”tambahku
“aku tidak tahu bahwa dia pangeranmu, aku tidak tau bahwa Alif dan Rajamu itu adalah orang yang sama, karena yang aku tau dia adalah pangeran yang paling sempurna didunia ini, aku minta maaf”
Aku tau, bukan kau yang salah. Mungkin kamulah yang lebih sempurna dimatanya sehingga dia berpaling dan memilih untuk berpijak dihatimu, biarkan aku yang pergi. Sudah terlalu lama aku hidup dalam hatinya, mungkin kini mawarku telah layu, tak ada lagi yang menarik dalam diriku. Dan luka ini takkan pernah bisa kalian rasa,  semua ini terjadi tanpa aku mau.
***
Bumiku basar oleh lelehan darah dari hati terdalamku, bahkan awan gelap itu mengintai nyawaku. Lalu dimana aku harus bersembunyi? Luka ini terus saja mengikutiku, sampai aku tak mampu lagi bernafas. Detak ini berhenti semenjak aku tahu dia memilih hati yang lain, bukan aku tapi dia sahabatku sendiri. Aku berjalan lunglai tanpa arti, tanpa sengaja gerbang biru itu membuyarkan lamunku, gerbang biru masa lalu. Saksi bisu itu, bayangan itu memenuhi setiap ruang dalam ilusiku. Aku tau tak ada lagi kekuatan untuk melawan arus. Aku berlari menjauhi kenangan kenangan itu. Aku tersesat dalam luka yang kalian buat, kalian yang membuatku hidup dan kalian pula yang memusnahkan seluruh inci dari jiwaku. Kini ragaku tak berpenghuni, aku merasa semuanya telah hilang sampai aku tertatih dan roboh dibalik hujan.

u're all i need

“You Are All I Need”

Lihat semua bintang bintang itu, tergambar jelas semua kisahku yang lalu, entahlah. Tiba-tiba saja ada yang meleleh saat aku membaca pesan singkat darinya.

“ Ada banyak pertanyaan yang tak sempat kau jawab
Kenapa kau bersikap dingin, lalu menyuruhku untuk mencari penggantimu?
Demi Tuhan!
Aku tulus menyayangimu.
Mengharapkanmu tak ubahnya mimpi
Mungkin saat ini aku tengah menikmati tidurku
Dan aku akan terbangun saat kau pergi tanpa senyum dari mimpiku..
    Tunggu sampai aku bosan
    Tunggu sampai aku jenuh
    Dan tunggu sampai aku lelah
    Maka saat itu mungkin cinta dan sayangku telah pudar
    Tapi aku takkan pernah berpaling darimu “

Angin masih berhilir ria, tak ada yang bisa menjawab kenapa semua itu terjadi, udara malam tidak lantas membuatku lupa tentang jalan dimasa laluku, saat aku masih berjuang demi cinta dalam hatiku. Semua itu masih tergambar jelas saat aku memulai kisah bersama suamiku ‘Mas Fahmi’ yang saat ini menjadi satu-satunya kekasih yang aku mau.

    “ Ibu..
Aku mencintaimu, dan aku yakin ibu mengetahui tentang semua itu
Aku juga tahu bahwa ibu sangat menyayangiku
Oleh karena itu aku akan menuruti setiap keinginan ibu
Termasuk dengan perjodohan yang ibu inginkan
Tapi ibu..
Saat ini aku memiliki seorang kekasih
Dia sangat menyayangiku, begitu juga denganku
Aku sangat menyayanginya, ibu
Tapi demi ibu, aku rela
Aku rela melepaskan separuh hatiku.
Saat ibu membaca surat ini
Aku telah berada ditempat yang mungkin sangat jauh
Tapi ibu jangan khawatir
Aku berjanji pada ibu
Demi cintaku pada ibu
Aku akan kembali sebelum hari akad nikah yang telah ibu tentukan
Aku tidak akan mengecewakan ibu,
Kali ini biarkan aku pamit pada duniaku
Biarkan aku terbang hanya untuk sekali ini saja, ibu.
Sekali lagi aku mencintaimu
Dan aku akan menepati setiap bait dari janjiku”

    Aku pergi membawa diri, aku tidak punya tujuan lain selain menemui kekasihku, tapi aku ragu. Aku takut kekuatanku tidak akan cukup untuk menghadapinya, aku tidak akan kuat melihat air matanya, tapi ini kali terakhir aku bisa menemuinya. Sesaat semua terasa gelap, dunia tak lagi bercahaya secerah saat aku masih selalu bersama-sama dengannya. Aku terus berjalan dengan langkah tanpa arah, hatiku ngilu, kepalaku seakan pecah seketika. Entahlah, aku merasa hanya aku yang menderita, hanya aku yang kejam karena telah membiarkan cintanya pergi, ah betapa bodoh diri ini. Tapi aku punya ibu, aku sama sekali tidak bisa memilih, aku tidak bisa menyakiti ibuku, tapi aku tidak kuat harus menghianati kekasihku.
“ Annisa!” sayup aku mendengar ada yang menyebut namaku, aku tak peduli dan pikirku masih saja kosong
“ Annisa, kamu mau kemana?” aku sedikit sadar dan aku mengenal suara itu, iya benar. Dia Rina teman kuliahku, Rina menghampiriku tapi aku sudah sama sekali tidak punya tenaga untuk bertahan, seketika aku roboh dalam dekapnya. Aku terpejam dalam.
Rina langsung membawaku kerumahnya, diperjalanan dia terus mengintrogasiku, aku hanya diam tanpa kata, bisu tak bersuara, yang aku rasa hanya sesak dalam hati. Entah apa yang terjadi tiba-tiba aku sudah berada dikamarnya
“ Annisa, ada apa? ” Rina memelukku yang terus mengisak
Aku mencoba untuk menceritakan semuanya meski dengan sisa tenaga yang lemah
“ dua minggu lagi aku akan menikah, Rin ” ungkapku pilu
“ bukankah kamu seharusnya bahagia?”
“--”
“ aku yakin kamu dan Ridho adalah pasangan yang serasi”
Aku menatap Rina dalam, menarik sekuat nafas yang aku bisa
“Rin, kamu tau bahwa aku sangat mencintai Ridho, tapi mungkin aku tidak akan pernah bisa untuk memilikinya, karena ibuku” paparku sendu
Aku tau Rina tak mengerti “ ibu menjodohkanku dengan laki-laki lain, Rin” tambahku
Rina terperajah sembari mendekapku penuh iba. Aku? Aku tidak bisa lagi bertahan, semuanya menyatu dalam benakku, Ibu, Ridho. Mereka tidak ada bedanya, merekalah orang yang telah memenuhi seluruh ruang hatiku sejak ayah meninggal dua tahun lalu, aku rapuh seketika. Usai sudah, musnah tanpa sisa, cairan beningku meleleh tanpa ampun.
    Saat ini hanya Rina satu-satunya sahabat yang bisa mengerti aku, dia yang selalu setia menghibur aku walau buat aku semua itu sia-sia, aku sama sekali tidak bisa meluangkan senyumku apalagi terbahak seperti dulu, senyumku telah musnah seiring dengan musnahnya cinta yang dulu aku rajut bersama kekasihku.
“Plis, Rin. Jangan katakana apapun pada dia”… “biarkan dia membenciku, biarkan dia berfikir sesuka yang dia mau” ….. “sudah cukup aku menyiksanya”

***
    Fajar masih terus mengukir cerita sepanjang usia dunia  berputar, tanpa henti setia melingkar dalam setiap hati, parasnya yang anggun mengajak semua hati merajut kisah tanpa batas, mencari, memberi, menerima, menemukan, semua itu terjadi tanpa kita tahu, seperti kisahku yang tiba-tiba meremukkan seluruh isi jantungku. Tiga minggu lalu aku mengukir janji pada ibu, begitu cepat waktuku bermuara, ia mengajakku kembali, demi ibu. Hanya itu yang aku rasa dibalik sesak yang aku bawa. Baiklah, jika ini yang ibu mau. aku terpaksa ibu, aku tidak rela dan tidak pernah rela dengan jalan yang ibu ciptakan, kenapa tidak ibu biarkan saja aku terbang dengan sayapku sendiri, kenapa harus ibu patahkan kedua sayapku sekaligus? Tidakkah ibu tahu tentang luka yang ibu ciptakan, aku selalu mencintai ibu dengan kasih yang sempurna, tapi beginikah wujud cinta ibu pada ku? Atau mungkin memang aku yang tidak bisa mengerti cinta ibu pada ku, benarkah ini jalan dari Tuhan? Semua itu tanda Tanya, tak ada yang bisa menjawab, percuma aku memelas, sia-sia aku mengiba dibawah langit dunia.

    Aku melangkah menemui mereka, mereka yang kata ibu akan membukakan pintu kebahagiaan untukku, seharusnya kekasihku yang duduk ditempat sakral itu, bukan dia yang sama sekali tidak aku kenal. Tiba-tiba langit menjadi mendung, dunia menjadi gelap, mereka berpesta diatas rasa sakitku.
Hari ini seharusnya aku bahagia, berdiri disini bersama kekasihku, aku menahan semua sakit ini, aku tidak peduli dengan darah jantungku yang hampir berhenti mengalir, di pojok sebelah sana aku melihat Rina tersenyum menyemangatiku, dia seakan berpesan agar aku ikhlas. Aku tahu dia menyembunyikan rasa sakitnya, aku juga tahu tentang sesuatu yang meleleh dipipinya meski cepat  ia hapus dengan tisu yang mungkin sudah basah sedari tadi.

***
    Bulan enggan menampakkan wujudnya, bintang tak jua mau keluar dari persembunyiannya, hanya suara makhluk malam yang aku dengar dari luar sana, aku masih berdiri seperti pahatan patung tanpa arti. Aku berdiri menatap langit yang tampak gelap, murung, tak semegah kemarin.
    Orang itu memanggil namaku. Rasanya tidak rela dia menyebut namaku, rasanya tidak sudi jika aku harus berlemah lembut dihadapannya
“Annisa, diluar ada teman-temanku”… “aku harap kamu mau menemui mereka”
Aku tidak peduli, aku sama sekali tidak bereaksi, tapi aku takut. Aku takut bahwa Tuhan akan melaknatku jika saja aku menyia-nyiakan dia. Seharusnya tak ada lagi hijab antara aku dengan dia, dia telah menghalalkanku, dia telah melerai hijab itu, lalu pantaskah aku mendholiminya? Seharusnya tidak, tapi hatiku masih terluka, bayangan tentang cinta yang lalu tak jua mau menghilang, aku tersungkur tak mampu lagi berpijak.
“sayang, maafkan ibu” tiba-tiba tangan ibu telah melingkar dari balik tubuhku, aku tahu bahwa ibu menangis saat memelukku, aku tahu bahwa ibu ingin aku menerima menantunya itu seperti saat aku menerima keputusan ibu. Aku diam tak mau berkomentar, aku tak kuasa menahan rasa sakit ini ibu, tapi biarlah. Ibu tidak akan pernah tahu, karena ibu egois.
Cercahku dalam hati, aku menahan isakku dari pandangan ibu. Aku pasrah dengan semua ini. Baiklah, aku akan mengikuti semuanya, toh aku hanya robot dalam benak ibu, jadi percuma karena ibu tidak akan mengerti, aku tidak mau mendurhakai ibu, walau sampai saat ini hanya anak yang durhaka, bukan orang tua.
***
    Malam yang menyiksaku, aku membanting tubuhku ditempat tidur, aku berharap Tuhan akan mengangkat semua penat ini, semuga ada keajaiban yang akan membuatku terpejam sejenak saja. Saat aku terpejam aku merasa ada yang berdiri membelaiku dari belakang, jari-jari itu melayang dikeningku
“Sayang, badan kamu panas”
“….”
Ah.. kenapa harus bersikap seperti ini, aku tidak mau dia memperdulikanku, tapi malam inidia siaga disampingku, aku tahu semua yang dia perbuat, dia juga yang mengompresku, dia juga yang menungguiku sampai panasku turun. Entah karena lelah atau karna dia tidak sengaja tidur sambil bertumpu pada tempat baringku, aku menatap wajahnya yang ini adalah kali pertama aku memperhatikan setiap inci dari rautnya. Sakit rasanya saat aku menyadari bahwa dia bukan kekasihku. Tapi sampai kapan? Aku harus bisa memulai segalanya dengan dia, bukan ridho atau ibu yang harus bertanggung jawab, aku harus bisa bersikap dewasa menghadapi semua ini.
    Pagi kali ini cerah, walau mungkin tidak secerah  kemarin. Aku bangkit dari tidurku dengan penuh hati-hati agar dia tidak terganggu, ada rasa kasihan melihat dia semalaman duduk disampingku, dengan sabar dia menjagaku.
“maafkan aku” hanya itu yang bisa aku ucapkan untuk memulai menyapanya, walau mungkin dia tidak mendengar ucapku
“kamu tidak pernah salah, sayang”
Ternyata aku salah, dia mendengar perkataanku, dia ternyata sudah bangun sejak aku bangkit tadi. Ada yang melayang kekeningku, tanpa permisi bibirnya menyentuh bibirku. aku telah memilih jalan ini, lalu kenapa aku harus mencoba kembali kejalan yang lain. Dialah satu-satunya imam dalam hidupku, bukan orang lain atau kekasihku, dia yang seharusnya aku tempatkan dalam hatiku, aku belajar menerimanya dan memperlakukan dia layaknya suami pada umumnya.
***
Malam ini bumiku basah. Hujan telah mengantarkan cerita baru dalam hidupku, cinta ibu mengajarkanku banyak hal, tentang ikhlas  yang tak mudah didapatkan, tentang arti hidup yang tak mudah untuk dipahami. Aku mengerti bahwa Tuhan dan ibuku benar-benar mencintaiku, Tuhan telah menganugerahkanku kekasih bahkan lebih dari seorang kekasih, dia selalu memenuhi setiap kekosongan dalam jiwaku, tuhan mengerti yang aku butuhkan, melalui suamiku tuhan mengirimkan semuanya. Dia memperlakukanku seperti seorang putri.
Aku selalu terpesona dengan cinta yang dia persembahkan, harus aku akui tentang sikapnya yang romantis.
    Dia mengajakku terbang bebas ke angkasa, dia telah memperbaiki sayapku yang patah, dengan cinta yang dia persembahkan. Dia ciptakan malam yang panjang, malam yang selalu mengajakku bernyanyi dengan lagu kesayangan. Dalam pelukannya yang hangat aku beristirahat, semua penat itu berlalu saat cinta kita menyatu tanpa cela.

Vampir jelita


“Vampir Jelita”

    Semua berawal dari dunia maya. Gadis berjilbab itu tiba-tiba bertamu keberandaku. Entah dia sengaja atau tidak, tapi Facebook telah mengukir kisah menarik dalam hidupku. Bunga Jelita. Nama indah itu membuat aku penasaran saat sesekali terlintas gambar profilnya muncul pada saran pertemananku. Sejurus kemudia aku langsung mengusulkan pertemanan dan ternyata dia mengkonfirmasi. ‘Lanjut’ kataku menorah senyum penasaran.
    Kali ini dia muncul di obrolanku, satu kata itu membuat rasa ingin tahuku semakin menjadi. Dia menyapaku lewat obrolan. Wah.. kesempatan neh, bolehlah.
Semakin hari dia semakin nyambung saja, kalau aku rasa dia kayaknya ngasih lampu kuning nih buad langkahku berikutnya. Aku tersenyum girang kemudian iseng aku meminta nomor handphone-nya, tanpa harus nunggu waktu lama dia sudah memberikan nomornya, hihi.. ini sudah bukan lampu kuning lagi kayaknya, tapi lampu hijau. Rejeki kali yah?.
    Malam ini jadwalku untuk menemuinya. Jangan sampai telat, dan harus berdandan rapi, aku sudah mengatur semuanya, mulai dari tempat dan lokasi. Dia langsung saja meng-iya-kan. Ngebet juga nih Bunga Mawar. Aku sengaja memilih kafe yang tidak terlalu ramai dengan pengunjung. Dari depan pintu kaca kafe aku melihat wanita cantik dengan heels kira-kira duapuluh sentimeter berjalan lenggak lenggok, dah kaya model profesional saja, Ihil. Dia seolah sedang mencari seseorang, terus saja aku memperhatikan dari kejauhan, sambil menunggu Bunga datang, aku perhatikan wanita itu sejak dari lekuk tubuhnya yang terlihat sering melakukan olahraga, kebukti pada perut dan pinggangnya yang ramping, semakin nikmat saja untuk diperhatikan. Aku rasa dia bukan wanita biasa, aku tau betapa tebal dompetnya, berapa banyak kartu yang bisa langsung dia gesek di mesin tuyul itu. Ah, semakin ngawur saja fikiranku.
    Dia mendekat dan menjabat tanganku, aku masih melongo tak mengerti tentang sikapnya, mungkin dia sedang salah orang.
“Arul?”
Aku berdiri meng-iya-kan pemastiannya. Si cantik ini langsung duduk didepanku. Aku penasaran sama sekali tak bisa menebak
“aku Jenny, Si Bunga Jelita” ia tersenyum seolah bangga telah mengelabuhiku, dia sangat berbeda dengan gambar pada profilnya, gadis berjilbab itu? Oh my god. Mimpi apa aku semalam sampai-sampai aku dapat kesempatan untuk berkencan dengan bidadari ini
“kenapa bengong aja, Rul?” ia membuyarkan lamunanku
Aku berusaha menyembunyikan salting yang aku derita. Apa-apaan ini, kenapa aku harus gugup.
    Acaraku sukses jempolan, Jenny benar-benar beda. Dia terlihat begitu lihai dalam menempatkan posisi, baiklah aku ikuti aturan mainmu, Jen.
***
Kencan pertama sukses sekarang saatnya aku menyusun rencana untuk bisa merengkuh hatinya, aku harus bisa menaklukkan bidadari ini. Aku bergegas untuk menemuinya, katanya sih dia mau ke mall untuk membeli beberapa kebutuhannya. Okelah aku temani, mungkin ini kesempatan baik buat aku untuk sekaligus mengetahui pribadinya semakin jauh. Seperti para wanita pada umumnya, sekali berbelanja bukan hal main-main, hampir saja dia memborong seluruh isi mall, astaga ternyata dia benar-benar berdompet tebal, bolehlah aku berinvestasi.
“Sudah selesai, Jen?”
“iya, ke kasir yuk” bagai kilat menyambar saja, dia langsung pergi tak peduli dengan aku yang kerepotan membawa barang belanjaannya, dia kira aku jongosnya kali yah? Menyedihkan. Tapi nggak masalah, setelah ini aku akan mengecap buah yang teramat manis, jadi semangat nih. Aku lihat dia mengeluarkan dompetnya, demi jaga image “Biar aku saja yang bayar, Jen” aku menyodorkan kartu kreditku. Aku lihat dia tersenyum pasrah memanjakan diri menggandeng tanganku. Nggak sulit ternyata buat menaklukan bunga satu ini.
***
    Aku tau tentang seleranya, wanita se-indah dia tidak akan sembarangan memilih tempat makan, okelah aku berkorban sedikit saja untuk mengikuti apa yang dia mau, restaurant mahal itu yang dia mau malam ini. Melihat gayanya yang perlente hampir membuat mataku siwer, sempurna.
    Gaun bermerek yang membalut ditubuhnya membuat dia terlihat semakin seksi, bisa saja jika aku jatuh cinta benaran pada gadis ini, tapi itu harus bisa aku cegah dan tidak akan terjadi. Dia bunga yang akan layu setelah aku petik, jadi tunggulah sampai hatimu benar-benar takmampu menolakku.
    Aku tau dia takkan menolak, selama ini dia selalu menuruti ke inginanku. Terbukti bahwa dia tidak akan menolak tentang apa yang ada dalam otakku. Tubuh seksi itu membuat semua kuman dalam otakku keluar, hasratku tak bisa lagi tertahankan
“Jenny, aku antar kamu pulang ya?”
“masih jam segini, Rul” ia menolak
“jadi kamu nggak apa-apa kalau pulang malam?”
“aku rasa begitu”
Baiklah, dia memang selalu memberikan aku kesempatan emas, aku bisa leluasa bermain dengan bunga ini.
    Dia mulai memegang tanganku. Aku tau dia mulai menginginkanku seutuhnya, aku tau tentang hasrat yang dia pendam. Dia benar-benar sudah mengerti betul dengan suasana malam dalam dunia para pencinta.
***
Sudah saatnya aku melancarkan segalanya, sudah saatnya aku memanen hasil. Aku berniat mengajak Jenny ke mall, ada sesuatu yang harus aku beli hari ini. Aku memborong semua, seperti yang dilakukan Jenny beberapa waktu lalu, toh ini semua dia yang akan membayar, tidak perlu aku risau dengan tagihan yang membengkak. Aku lihat Jenny sudah memborong banyak belanjaan, kasir sudah menunggu dan aku sudah tidak sabar untuk menikmati fasilitas mewahnya. Aku berpura-pura menerima telepon dari seseorang dan menyibukkan diri supaya aku punya alasan untuk tidak perlu membuka dompet
“Mbak, maaf kayaknya dompet saya tertinggal” ia mencari-cari isi tasnya
“bisa dipending dulu nggak, Mbak?.” ---“saya mau pulang mengambil dompet dulu, Mbak”
“kenapa tidak mas-nya saja yang membayarinya dulu, Mbak?” sambung kasir itu sambil menunjuk ke arahku. Aku tidak punya alasan untuk menolak, dan terpaksa aku yang harus mengorbankan kartu kreditku.
“Sorry ya, Rul” --- “entar aku ganti deh” tambahnya seolah tak enak hati. Ya, seharusnya memang kamu menggantinya, setelah ini kamu akan mengganti dengan yang lebih
    Satu-satunya alasan untuk aku bisa mendapatkan yang aku mau adalah dengan cara mengencaninya. Berbeda dengan sebelumnya kali ini dia hanya memakai baju sederhana tapi predikat mewah yang dia sandang tetap saja tergambar jelas, aku penasaran dari mana dia mendapatkan fasilitas mewah itu, seberapa tajir sih orang tuanya. Aku seperti menemukan harta karun yang siap membuatku jadi jutawan. bukan hanya itu, parasnya yang sempurna juga akan melengkapi kebutuhanku. Ah, betapa beruntung nasibku.
***
    Aku  semakin gencar memikat Jenny, selama ini selalu saja ada alasan untuk aku mengalah, tidak seperti biasa saat aku bisa dengan leluasa menikmati dompet berjalanku pada sebelumnya. Aku harus bisa menyusup kerumahnya, aku ingin Jenny mengenalkanku pada orang tuanya. Malam ini dia mengajakku ketemu, tapi tidak ditempat makan apalagi kafe. Dia memintaku menemuinya disebuah taman. Mungkin saja dia ingin merasakan suasana romantic seperti pasangan remaja sekolahan sampai-sampai dia mengajakku ke taman
“sorry aku telat, Jen”
Dia hanya tersenyum meng-iya-kan, dia berdandan ala remaja SMA yang hanya memakai rok mini dengan kaos berbahan style Korea. Ada-ada saja, dia membangkitkan birahiku. Melihat kulitnya kesat dibawah lampu merah taman. Aku berusaha memeluknya tapi ia menolak.
“kenapa?” aku kecewa
“….”
“Jenny?”
Aku kira dia keberatan menerima pelukanku, ternyata salah. Dia memilih sendiri bagian tubuhku untuk dia peluk, dia memelukku erat seakan tak ingin lepas. Aku mengeluarkan semua kata-kata romantic untuk membiusnya. Kapan lagi.
    Malam serasa bersahabat, dia seolah ingin mengatakan sesuatu padaku. Aku masih terus berusaha mengajaknya terbang dengan sejuta pujian.
“Arul, aku ingin katakan sesuatu padamu” dia melepaskan pelukannya
“katakana saja” aku penasaran
“statusku saat ini adalah seorang istri, suamiku saat ini sedang ada diperjalanan untuk menjemputku pindah ke luar negeri. Aku akan ikut suamiku karena dia memutuskan akan menetap disana”
Deggkk..!!!
Aku merasa dipermainkan dan tidak terima, dia tidak bisa mencampakkanku begitu saja.
“apa alasanmu melakukan ini?”
“aku hanya ingin bermain-main. Sama seperti yang kamu lakukan” tegasnya
“thank you, Arul. Thanks buat semuanya” ia berdiri melepaskan tangannya dari pangkuanku. Dia berlalu dan aku masih tidak percaya. Bodoh, aku menjadi korban wanita jalang itu. Rupanya aku yang harus menangis darah, bukan dia seperti yang telah aku rencanakan. Aku berusaha mengejarnya tapi dia telah hilang termakan waktu. Ah, sial.
***
    Kali ini aku gagal, Jenny telah mematahkan rasa percaya diri dalam jiwaku, jika sebelumnya aku berhasil melakoni aksi nakalku tapi kali ini tidak, aku merasa telah memfasilitasi seorang perampok. Dia kabur begitu saja dari hadapanku. Aku tertipu begitu saja oleh parasnya yang menyilaukan. Jelas saja dia lihai memainkan semuanya, jelas saja dia hidup mewah. Dia bahkan telah mempunyai mesin tuyul otomatis yang bisa kapan saja dia mintai.
    Aku tertawa geli mengingat semua itu, aku merasakan apa yang mereka rasakan. Menjadi korban manisnya cinta. Dulu aku dengan gampang meninggalkan mereka setelah aku bosan dan menemukan lahan yang lebih subur, sekarang aku merasakan semua itu. Rupanya aku tertipu. Bukan emas atau perak yang aku dapat, tapi sampah tak berarti yang aku terima dari bunga indah itu.
    Aku melihat akun Facebooknya telah terhapus, dia benar-benar telah menghilang, dia menghisap darahku seketika.





                                Lepelle, 16 Oktober 2012

Minggu, 01 Januari 2012

*..BeRsAmA RiNdU qOe..*




    *..BeRsAmA RiNdU qOe..*

qOe tatap dalam mataMu, ada Cinta yang
yang selalu qOe butuhkan, ada rasa yang
selalu qOe inginkan, tak dapat melepaskn
nya walau dalam hitungan detik, qOe rasa
qOe tlah jatuh cinta pada makhluk indah
sepertiMu, di antara hitungan waktu qOe
mengejar bayanganMu, meski qOe tau qt
berjarak, tp qOe yakin hatiMu disini bersama qOe, menemani disetiap mimpi qOe… Inilah hati qOe, bila kau ingin tau, tataplah aqOe dari kejauhan sana, pastilah kau kan temukan cairan rindu qOe, yang selalu berharap tanpa restu..
Hai bintang kehidupan qOe, kau kan selalu bersinar dihati qOe, sampai kau bisa merasakannya, betapa rindu ini telah mendera qOe,,,


YoU n Me

aLways tOgetHer n FoReVer…

I Love yOu




                                        bE mY lOvE
*”..~waNda^..”*