penawanda
Sabtu, 02 Maret 2013
M@ndalover: TUGAS 1
M@ndalover: TUGAS 1: Bagi mahasiswa program S1 PGSD UT Semesrter VI Tahun 2013.1 mata kuliah Bahasa Inggris untuk Tugas 1 membuat sebuah dialog tentang Giv...
Rabu, 05 Desember 2012
the moon
“The Moon”
Aku jatuh cinta? Entahlah. Rasa itu benar-benar jauh dari benakku. Bahkan aku telah lupa saat terakhir aku merasakannya. Tak ada yang mampu menutupi lubang dalam jiwaku, semuanya kosong tanpa arti, bahkan gelappun tak mampu menghilangkannya. Api itu terlalu membakar, membuat segalanya musnah tak bersisa.
Pagi akhirnya datang, ia hadir dengan sejuta cahaya. Aku terlena, tak mampu berkedip sedetik saja untuk melewatkannya. Sinarnya mampu merubah segalanya.
Lima tahun lalu saat dia membawa seikat mawar dengan kertas kecil berbalut lilin, membawa aroma baru dalam hidupku. Ia memberikanku penerangn untuk memulai langkah ku yang mulai tersesat. Aku tersenyum menyambutnya, meski ku coba untuk menyembunyikan girangku. Aku malu mengatakannya, aku tersipu dibalik cahaya rembulan yang terhalang pohon rindang disamping rumahku. Bahkan aku tak percaya. Aku memulai kisah itu disaksikan putih abu-abu kebanggaanku “I love you too”
Dunia dalam genggamku. Ah tidak, tetapi dalam genggam kita. Tak ada amarah yang tak mampu diredam, semua luluh dalam cinta. Mawar juga tak henti bermekaran, sekaligus bayangannya tak pernah lepas dari anganku, ini gila.
Pagi ini cerah, aku melihat senyum itu kembali dibalik helm yang ia kenakan. Kita siap mengukir cerita hari ini
“Morning, Baby?”
Aq tersenyum melangkah didekatnya
Ia bahkan lebih dari sekedar mentari pagi, semangat itu selalu ia toreh disetiap nafas yang ia hembuskan. Aku hidup bersama separuh detak jantungnya, darah ini mengalir bersama cinta yang ia persembahkan
Kisah ini takkan berakhir dalam gelap, rasa ini tetap menyala bahkan saat hati dan otakku tak bergerak.
“Baby, bernafaslah denganku”
Panggilan itu yang membuat jalan didepanku lurus tak berujung, aku selalu ingin lama berada didekatnya.
***
Hari terus mengukir sejarah, bagi mereka kali ini patut bersorak ria. Aku lihat Iin, Inez, Aya dan Rehan, sahabat-sahabatku berpelukan penuh tawa. Hari yang menjadi kebanggaan itu tiba, tradisi mencoret-coret seragam takkan absen dari agenda, berbagi tanda tangan terakhir dalam putih abu-abu sebagai pesan bahwa mereka nyata, sebagai memory bahwa kita pernah mengukir cerita. Di tempat ini, tempat dimana aku menjadi satu-satunya putrid yang bertahta dalam hati Alif.
“Baby?” --- “kita berhasil” ia terlihat begitu bahagia. Entah apa yang ada dalam fikirku, yang aku tau aku seperti berdiri dalam gelap. Aku ketakutan bukan tanpa alas an, karena ini mungkin akan jadi kenangan.
“setelah ini?” lirihku. Nada tak pasti yang aku ungkap demi ketakutanku
“kenapa?” dia berkernyit
“aku takut” bisikku menatap dalam mata indah itu
“aku selalu ada untuk mu” dia berusaha membuatku merasa nyaman.
***
Langitku terlihat anggun, angin berlambai tanpa beban, tatapan itu biasa aku lihat disini, ditempat kita bersama. Mentari berusaha pamit sejenak, tak ada masalah. Aku lebih suka bulan merah jambu. Seperti biasa, aku bersama dengannya disini hingga lukisan kuning itu berubah jadi taburan kerikil para malaikat. Aku berbaring menatap lukisan Tuhan pada langit, satu persatu bintang itu menghiasi semesta. Dia berbaring disampingku, yang aku lihat hanya wajahnya yang begitu dekat berada tepat didepan mataku
“Baby”
Aku menatapnya dalam, ada sejuta cinta disana
“Baby, listen to me” nadanya berubah serius
“ada apa?” aku penasaran
“kau tau, kamu satu-satunya cahaya dalam gelapku, kamu satu-satunya alasan kenapa aku mampu tersenyum saat ini” ia menatap jauh ke atas sana, aku terharu mendengar itu
“tapi aku harus pergi” tambahnya
“kemana?” aku tak mengerti
“aku pergi untuk sementara, sebelum aku kembali menjemputmu dan membawamu lari menuju istana suci” ----- “aku akan melanjutkan kuliah keluar kota, tentang rencanamu untuk melanjutkan kuliah disini, aku tidak bisa menemanimu”
“how long?”
“secepatnya” ia menggenggam erat tanganku
“I’ll be right here waiting for you”
“really?”
Aku mengangguk pelan, tanpa terasa ada yang meleleh dari mataku. Sudah aku tebak bahwa dia akan pergi. Dia menghapus mutiara-mutiara itu seakan dia tidak rela ia menetes.
***
Lihat embun itu, satu persatu lenyap tersengat hangat mentari. Aku bergegas menuju kammpus bersama sahabat baruku, Marwah. Kami tinggal satu kos-an, sesekali Iin, Inez, dan Aya menemuiku, sedangkan Rehan, aku dengar ia kuliah ke luar negeri memenuhi panggilan beasiswa.
Aku lihat langit kali ini mendung, aku ingat saat terakhir kali Alif bersama dengan ku. Ya, aku sangat merindukannya. Marwah setia mendengarkan setiap kisah yang aku ceritakan. Kenangan dibawah bulan yang anggun, saat dia tak pernah lelah menyemangatiku. Kini tanganku dingin, jari-jari itu tak lagi aku rasa. Jari yang selalu memegang erat tanganku, aku terlalu rindu meski sesekali Alif menghubungiku. Aku mengeluarkan semua rindu itu, aku rasa ia mengerti disana.
***
Hari terus berlalu, siang dan malam masih teratur mengantarkan setiap kisah-kisahku. Lama sekali aku tidak mendengar suaranya, ia berubah seakan semakin jauh. Ia tak lagi mengunjungi bulan bersamaku, entah kesibukan apa yang tengah menyita waktunya. Aku selalu menunggu saat ia berkata cinta, aq rindu pada setiap kasih yang ia berikan, kini ia jauh dari pandang mata. ‘Secepatnya’ itu yang aku dengar, tapi kapan?
Masa liburan telah tiba, saatnya melepas penat dari tumpukan tugas-tugas kuliah, aku berniat mengajak Marwah mengelilingi taman hari ini, tapi aku dengar ia telah pergi pagi-pagi sekali. Entahlah, dia sama sekali tidak berucap padaku.
Angin pagi mungkin akan mampu menyapu semua debu dalam otakku, meski tanpa teman aku rasa aku mampu untuk sekedar keliling taman sembari mengenang kisah-kisah itu. Ah.. seandainya ia disini.
Pohon rindang. Tempat itu yang selalu kita pilih saat memekarkan setiap kuncup-kuncup cinta, indah memang. Kini hanya aku dan rasa rinduku. Ngilu.
Matahari tiba-tiba tenggelam, seketika alamku gelap. Pemandangan didepan mata membuat jantungku berhenti berdetak. Dua mahluk indah itu? Aku berdiri mematung, dunia seakan meruntuh bersama puing-puing hatiku yang gugur. Aku memilih pergi membawa diri. Ada langkah yang mengikutiku dari belakang. Tuhan, sungguh ini semua tak bisa aku terima, aku tidak bisa mempercayainya
“Baby?”
Tak ada lagi kekuatan yang bisa aku tunjukan, aku mematung merasakan sakit seketika. Ia membalikkan tubuhku, aku tak kuasa, aku tak mampu menatapnya seperti dulu. Ia mengangkat kepalaku , aku melihat sosok itu berjalan mendekat. Ya, dia sahabatku, Marwah meremukkan jantungku
“Baby, forgive me” sesalnya memintaku menatap. Aku melihat tentang awan hitam dimata Marwah, aku tak bergeming, ia mungkin tak melihat tentang api yang siap membakar jasadnya. Tak ada yang bisa dijadikan alas an, kini aku mengerti. Maka.. biarkan aku yang pergi
“kau tak perlu menepati janjimu” lirihku sembari melangkah menjauh
“Baby?” ia berusaha menahanku, tapi percuma.
Marwah, aku tak peduli lagi. Lakukan mau kalian, aku mengadu pada bulan yang tak jua purnama. Percuma saja, tak ada yang perlu aku mengerti, tak ada lagi makna yang harus aku cari, bahkan cahaya itu seketika meredup. Aku? Aku bukan lagi satu-satunya putrid dalam istanamu, aku bukan lagi mawar dalam hatimu, duri itu hadir saat aku lengah, ia menusuk sekaligus isi hatiku. Nafas itu, bukan aku satu-satunya jiwa yang ia tuju. Lalu beginikah akhir dari kisah menuju istana suci seperti yang kau janjikan?
Rembulanku, aku tak mampu lagi. Bawa aku terbang, jika tidak maka biarkan aku memilih mentari untuk membakar semua rasa sakit ini. Cinta yang aku banggakan telah mematahkan segalanya.
“forgive me”
Aku tidak peduli dengan suara itu, terserah.
“marwah?” aq membelakanginya “besok aku pergi”tambahku
“aku tidak tahu bahwa dia pangeranmu, aku tidak tau bahwa Alif dan Rajamu itu adalah orang yang sama, karena yang aku tau dia adalah pangeran yang paling sempurna didunia ini, aku minta maaf”
Aku tau, bukan kau yang salah. Mungkin kamulah yang lebih sempurna dimatanya sehingga dia berpaling dan memilih untuk berpijak dihatimu, biarkan aku yang pergi. Sudah terlalu lama aku hidup dalam hatinya, mungkin kini mawarku telah layu, tak ada lagi yang menarik dalam diriku. Dan luka ini takkan pernah bisa kalian rasa, semua ini terjadi tanpa aku mau.
***
Bumiku basar oleh lelehan darah dari hati terdalamku, bahkan awan gelap itu mengintai nyawaku. Lalu dimana aku harus bersembunyi? Luka ini terus saja mengikutiku, sampai aku tak mampu lagi bernafas. Detak ini berhenti semenjak aku tahu dia memilih hati yang lain, bukan aku tapi dia sahabatku sendiri. Aku berjalan lunglai tanpa arti, tanpa sengaja gerbang biru itu membuyarkan lamunku, gerbang biru masa lalu. Saksi bisu itu, bayangan itu memenuhi setiap ruang dalam ilusiku. Aku tau tak ada lagi kekuatan untuk melawan arus. Aku berlari menjauhi kenangan kenangan itu. Aku tersesat dalam luka yang kalian buat, kalian yang membuatku hidup dan kalian pula yang memusnahkan seluruh inci dari jiwaku. Kini ragaku tak berpenghuni, aku merasa semuanya telah hilang sampai aku tertatih dan roboh dibalik hujan.
Aku jatuh cinta? Entahlah. Rasa itu benar-benar jauh dari benakku. Bahkan aku telah lupa saat terakhir aku merasakannya. Tak ada yang mampu menutupi lubang dalam jiwaku, semuanya kosong tanpa arti, bahkan gelappun tak mampu menghilangkannya. Api itu terlalu membakar, membuat segalanya musnah tak bersisa.
Pagi akhirnya datang, ia hadir dengan sejuta cahaya. Aku terlena, tak mampu berkedip sedetik saja untuk melewatkannya. Sinarnya mampu merubah segalanya.
Lima tahun lalu saat dia membawa seikat mawar dengan kertas kecil berbalut lilin, membawa aroma baru dalam hidupku. Ia memberikanku penerangn untuk memulai langkah ku yang mulai tersesat. Aku tersenyum menyambutnya, meski ku coba untuk menyembunyikan girangku. Aku malu mengatakannya, aku tersipu dibalik cahaya rembulan yang terhalang pohon rindang disamping rumahku. Bahkan aku tak percaya. Aku memulai kisah itu disaksikan putih abu-abu kebanggaanku “I love you too”
Dunia dalam genggamku. Ah tidak, tetapi dalam genggam kita. Tak ada amarah yang tak mampu diredam, semua luluh dalam cinta. Mawar juga tak henti bermekaran, sekaligus bayangannya tak pernah lepas dari anganku, ini gila.
Pagi ini cerah, aku melihat senyum itu kembali dibalik helm yang ia kenakan. Kita siap mengukir cerita hari ini
“Morning, Baby?”
Aq tersenyum melangkah didekatnya
Ia bahkan lebih dari sekedar mentari pagi, semangat itu selalu ia toreh disetiap nafas yang ia hembuskan. Aku hidup bersama separuh detak jantungnya, darah ini mengalir bersama cinta yang ia persembahkan
Kisah ini takkan berakhir dalam gelap, rasa ini tetap menyala bahkan saat hati dan otakku tak bergerak.
“Baby, bernafaslah denganku”
Panggilan itu yang membuat jalan didepanku lurus tak berujung, aku selalu ingin lama berada didekatnya.
***
Hari terus mengukir sejarah, bagi mereka kali ini patut bersorak ria. Aku lihat Iin, Inez, Aya dan Rehan, sahabat-sahabatku berpelukan penuh tawa. Hari yang menjadi kebanggaan itu tiba, tradisi mencoret-coret seragam takkan absen dari agenda, berbagi tanda tangan terakhir dalam putih abu-abu sebagai pesan bahwa mereka nyata, sebagai memory bahwa kita pernah mengukir cerita. Di tempat ini, tempat dimana aku menjadi satu-satunya putrid yang bertahta dalam hati Alif.
“Baby?” --- “kita berhasil” ia terlihat begitu bahagia. Entah apa yang ada dalam fikirku, yang aku tau aku seperti berdiri dalam gelap. Aku ketakutan bukan tanpa alas an, karena ini mungkin akan jadi kenangan.
“setelah ini?” lirihku. Nada tak pasti yang aku ungkap demi ketakutanku
“kenapa?” dia berkernyit
“aku takut” bisikku menatap dalam mata indah itu
“aku selalu ada untuk mu” dia berusaha membuatku merasa nyaman.
***
Langitku terlihat anggun, angin berlambai tanpa beban, tatapan itu biasa aku lihat disini, ditempat kita bersama. Mentari berusaha pamit sejenak, tak ada masalah. Aku lebih suka bulan merah jambu. Seperti biasa, aku bersama dengannya disini hingga lukisan kuning itu berubah jadi taburan kerikil para malaikat. Aku berbaring menatap lukisan Tuhan pada langit, satu persatu bintang itu menghiasi semesta. Dia berbaring disampingku, yang aku lihat hanya wajahnya yang begitu dekat berada tepat didepan mataku
“Baby”
Aku menatapnya dalam, ada sejuta cinta disana
“Baby, listen to me” nadanya berubah serius
“ada apa?” aku penasaran
“kau tau, kamu satu-satunya cahaya dalam gelapku, kamu satu-satunya alasan kenapa aku mampu tersenyum saat ini” ia menatap jauh ke atas sana, aku terharu mendengar itu
“tapi aku harus pergi” tambahnya
“kemana?” aku tak mengerti
“aku pergi untuk sementara, sebelum aku kembali menjemputmu dan membawamu lari menuju istana suci” ----- “aku akan melanjutkan kuliah keluar kota, tentang rencanamu untuk melanjutkan kuliah disini, aku tidak bisa menemanimu”
“how long?”
“secepatnya” ia menggenggam erat tanganku
“I’ll be right here waiting for you”
“really?”
Aku mengangguk pelan, tanpa terasa ada yang meleleh dari mataku. Sudah aku tebak bahwa dia akan pergi. Dia menghapus mutiara-mutiara itu seakan dia tidak rela ia menetes.
***
Lihat embun itu, satu persatu lenyap tersengat hangat mentari. Aku bergegas menuju kammpus bersama sahabat baruku, Marwah. Kami tinggal satu kos-an, sesekali Iin, Inez, dan Aya menemuiku, sedangkan Rehan, aku dengar ia kuliah ke luar negeri memenuhi panggilan beasiswa.
Aku lihat langit kali ini mendung, aku ingat saat terakhir kali Alif bersama dengan ku. Ya, aku sangat merindukannya. Marwah setia mendengarkan setiap kisah yang aku ceritakan. Kenangan dibawah bulan yang anggun, saat dia tak pernah lelah menyemangatiku. Kini tanganku dingin, jari-jari itu tak lagi aku rasa. Jari yang selalu memegang erat tanganku, aku terlalu rindu meski sesekali Alif menghubungiku. Aku mengeluarkan semua rindu itu, aku rasa ia mengerti disana.
***
Hari terus berlalu, siang dan malam masih teratur mengantarkan setiap kisah-kisahku. Lama sekali aku tidak mendengar suaranya, ia berubah seakan semakin jauh. Ia tak lagi mengunjungi bulan bersamaku, entah kesibukan apa yang tengah menyita waktunya. Aku selalu menunggu saat ia berkata cinta, aq rindu pada setiap kasih yang ia berikan, kini ia jauh dari pandang mata. ‘Secepatnya’ itu yang aku dengar, tapi kapan?
Masa liburan telah tiba, saatnya melepas penat dari tumpukan tugas-tugas kuliah, aku berniat mengajak Marwah mengelilingi taman hari ini, tapi aku dengar ia telah pergi pagi-pagi sekali. Entahlah, dia sama sekali tidak berucap padaku.
Angin pagi mungkin akan mampu menyapu semua debu dalam otakku, meski tanpa teman aku rasa aku mampu untuk sekedar keliling taman sembari mengenang kisah-kisah itu. Ah.. seandainya ia disini.
Pohon rindang. Tempat itu yang selalu kita pilih saat memekarkan setiap kuncup-kuncup cinta, indah memang. Kini hanya aku dan rasa rinduku. Ngilu.
Matahari tiba-tiba tenggelam, seketika alamku gelap. Pemandangan didepan mata membuat jantungku berhenti berdetak. Dua mahluk indah itu? Aku berdiri mematung, dunia seakan meruntuh bersama puing-puing hatiku yang gugur. Aku memilih pergi membawa diri. Ada langkah yang mengikutiku dari belakang. Tuhan, sungguh ini semua tak bisa aku terima, aku tidak bisa mempercayainya
“Baby?”
Tak ada lagi kekuatan yang bisa aku tunjukan, aku mematung merasakan sakit seketika. Ia membalikkan tubuhku, aku tak kuasa, aku tak mampu menatapnya seperti dulu. Ia mengangkat kepalaku , aku melihat sosok itu berjalan mendekat. Ya, dia sahabatku, Marwah meremukkan jantungku
“Baby, forgive me” sesalnya memintaku menatap. Aku melihat tentang awan hitam dimata Marwah, aku tak bergeming, ia mungkin tak melihat tentang api yang siap membakar jasadnya. Tak ada yang bisa dijadikan alas an, kini aku mengerti. Maka.. biarkan aku yang pergi
“kau tak perlu menepati janjimu” lirihku sembari melangkah menjauh
“Baby?” ia berusaha menahanku, tapi percuma.
Marwah, aku tak peduli lagi. Lakukan mau kalian, aku mengadu pada bulan yang tak jua purnama. Percuma saja, tak ada yang perlu aku mengerti, tak ada lagi makna yang harus aku cari, bahkan cahaya itu seketika meredup. Aku? Aku bukan lagi satu-satunya putrid dalam istanamu, aku bukan lagi mawar dalam hatimu, duri itu hadir saat aku lengah, ia menusuk sekaligus isi hatiku. Nafas itu, bukan aku satu-satunya jiwa yang ia tuju. Lalu beginikah akhir dari kisah menuju istana suci seperti yang kau janjikan?
Rembulanku, aku tak mampu lagi. Bawa aku terbang, jika tidak maka biarkan aku memilih mentari untuk membakar semua rasa sakit ini. Cinta yang aku banggakan telah mematahkan segalanya.
“forgive me”
Aku tidak peduli dengan suara itu, terserah.
“marwah?” aq membelakanginya “besok aku pergi”tambahku
“aku tidak tahu bahwa dia pangeranmu, aku tidak tau bahwa Alif dan Rajamu itu adalah orang yang sama, karena yang aku tau dia adalah pangeran yang paling sempurna didunia ini, aku minta maaf”
Aku tau, bukan kau yang salah. Mungkin kamulah yang lebih sempurna dimatanya sehingga dia berpaling dan memilih untuk berpijak dihatimu, biarkan aku yang pergi. Sudah terlalu lama aku hidup dalam hatinya, mungkin kini mawarku telah layu, tak ada lagi yang menarik dalam diriku. Dan luka ini takkan pernah bisa kalian rasa, semua ini terjadi tanpa aku mau.
***
Bumiku basar oleh lelehan darah dari hati terdalamku, bahkan awan gelap itu mengintai nyawaku. Lalu dimana aku harus bersembunyi? Luka ini terus saja mengikutiku, sampai aku tak mampu lagi bernafas. Detak ini berhenti semenjak aku tahu dia memilih hati yang lain, bukan aku tapi dia sahabatku sendiri. Aku berjalan lunglai tanpa arti, tanpa sengaja gerbang biru itu membuyarkan lamunku, gerbang biru masa lalu. Saksi bisu itu, bayangan itu memenuhi setiap ruang dalam ilusiku. Aku tau tak ada lagi kekuatan untuk melawan arus. Aku berlari menjauhi kenangan kenangan itu. Aku tersesat dalam luka yang kalian buat, kalian yang membuatku hidup dan kalian pula yang memusnahkan seluruh inci dari jiwaku. Kini ragaku tak berpenghuni, aku merasa semuanya telah hilang sampai aku tertatih dan roboh dibalik hujan.
u're all i need
“You Are All I Need”
Lihat semua bintang bintang itu, tergambar jelas semua kisahku yang lalu, entahlah. Tiba-tiba saja ada yang meleleh saat aku membaca pesan singkat darinya.
“ Ada banyak pertanyaan yang tak sempat kau jawab
Kenapa kau bersikap dingin, lalu menyuruhku untuk mencari penggantimu?
Demi Tuhan!
Aku tulus menyayangimu.
Mengharapkanmu tak ubahnya mimpi
Mungkin saat ini aku tengah menikmati tidurku
Dan aku akan terbangun saat kau pergi tanpa senyum dari mimpiku..
Tunggu sampai aku bosan
Tunggu sampai aku jenuh
Dan tunggu sampai aku lelah
Maka saat itu mungkin cinta dan sayangku telah pudar
Tapi aku takkan pernah berpaling darimu “
Angin masih berhilir ria, tak ada yang bisa menjawab kenapa semua itu terjadi, udara malam tidak lantas membuatku lupa tentang jalan dimasa laluku, saat aku masih berjuang demi cinta dalam hatiku. Semua itu masih tergambar jelas saat aku memulai kisah bersama suamiku ‘Mas Fahmi’ yang saat ini menjadi satu-satunya kekasih yang aku mau.
“ Ibu..
Aku mencintaimu, dan aku yakin ibu mengetahui tentang semua itu
Aku juga tahu bahwa ibu sangat menyayangiku
Oleh karena itu aku akan menuruti setiap keinginan ibu
Termasuk dengan perjodohan yang ibu inginkan
Tapi ibu..
Saat ini aku memiliki seorang kekasih
Dia sangat menyayangiku, begitu juga denganku
Aku sangat menyayanginya, ibu
Tapi demi ibu, aku rela
Aku rela melepaskan separuh hatiku.
Saat ibu membaca surat ini
Aku telah berada ditempat yang mungkin sangat jauh
Tapi ibu jangan khawatir
Aku berjanji pada ibu
Demi cintaku pada ibu
Aku akan kembali sebelum hari akad nikah yang telah ibu tentukan
Aku tidak akan mengecewakan ibu,
Kali ini biarkan aku pamit pada duniaku
Biarkan aku terbang hanya untuk sekali ini saja, ibu.
Sekali lagi aku mencintaimu
Dan aku akan menepati setiap bait dari janjiku”
Aku pergi membawa diri, aku tidak punya tujuan lain selain menemui kekasihku, tapi aku ragu. Aku takut kekuatanku tidak akan cukup untuk menghadapinya, aku tidak akan kuat melihat air matanya, tapi ini kali terakhir aku bisa menemuinya. Sesaat semua terasa gelap, dunia tak lagi bercahaya secerah saat aku masih selalu bersama-sama dengannya. Aku terus berjalan dengan langkah tanpa arah, hatiku ngilu, kepalaku seakan pecah seketika. Entahlah, aku merasa hanya aku yang menderita, hanya aku yang kejam karena telah membiarkan cintanya pergi, ah betapa bodoh diri ini. Tapi aku punya ibu, aku sama sekali tidak bisa memilih, aku tidak bisa menyakiti ibuku, tapi aku tidak kuat harus menghianati kekasihku.
“ Annisa!” sayup aku mendengar ada yang menyebut namaku, aku tak peduli dan pikirku masih saja kosong
“ Annisa, kamu mau kemana?” aku sedikit sadar dan aku mengenal suara itu, iya benar. Dia Rina teman kuliahku, Rina menghampiriku tapi aku sudah sama sekali tidak punya tenaga untuk bertahan, seketika aku roboh dalam dekapnya. Aku terpejam dalam.
Rina langsung membawaku kerumahnya, diperjalanan dia terus mengintrogasiku, aku hanya diam tanpa kata, bisu tak bersuara, yang aku rasa hanya sesak dalam hati. Entah apa yang terjadi tiba-tiba aku sudah berada dikamarnya
“ Annisa, ada apa? ” Rina memelukku yang terus mengisak
Aku mencoba untuk menceritakan semuanya meski dengan sisa tenaga yang lemah
“ dua minggu lagi aku akan menikah, Rin ” ungkapku pilu
“ bukankah kamu seharusnya bahagia?”
“--”
“ aku yakin kamu dan Ridho adalah pasangan yang serasi”
Aku menatap Rina dalam, menarik sekuat nafas yang aku bisa
“Rin, kamu tau bahwa aku sangat mencintai Ridho, tapi mungkin aku tidak akan pernah bisa untuk memilikinya, karena ibuku” paparku sendu
Aku tau Rina tak mengerti “ ibu menjodohkanku dengan laki-laki lain, Rin” tambahku
Rina terperajah sembari mendekapku penuh iba. Aku? Aku tidak bisa lagi bertahan, semuanya menyatu dalam benakku, Ibu, Ridho. Mereka tidak ada bedanya, merekalah orang yang telah memenuhi seluruh ruang hatiku sejak ayah meninggal dua tahun lalu, aku rapuh seketika. Usai sudah, musnah tanpa sisa, cairan beningku meleleh tanpa ampun.
Saat ini hanya Rina satu-satunya sahabat yang bisa mengerti aku, dia yang selalu setia menghibur aku walau buat aku semua itu sia-sia, aku sama sekali tidak bisa meluangkan senyumku apalagi terbahak seperti dulu, senyumku telah musnah seiring dengan musnahnya cinta yang dulu aku rajut bersama kekasihku.
“Plis, Rin. Jangan katakana apapun pada dia”… “biarkan dia membenciku, biarkan dia berfikir sesuka yang dia mau” ….. “sudah cukup aku menyiksanya”
***
Fajar masih terus mengukir cerita sepanjang usia dunia berputar, tanpa henti setia melingkar dalam setiap hati, parasnya yang anggun mengajak semua hati merajut kisah tanpa batas, mencari, memberi, menerima, menemukan, semua itu terjadi tanpa kita tahu, seperti kisahku yang tiba-tiba meremukkan seluruh isi jantungku. Tiga minggu lalu aku mengukir janji pada ibu, begitu cepat waktuku bermuara, ia mengajakku kembali, demi ibu. Hanya itu yang aku rasa dibalik sesak yang aku bawa. Baiklah, jika ini yang ibu mau. aku terpaksa ibu, aku tidak rela dan tidak pernah rela dengan jalan yang ibu ciptakan, kenapa tidak ibu biarkan saja aku terbang dengan sayapku sendiri, kenapa harus ibu patahkan kedua sayapku sekaligus? Tidakkah ibu tahu tentang luka yang ibu ciptakan, aku selalu mencintai ibu dengan kasih yang sempurna, tapi beginikah wujud cinta ibu pada ku? Atau mungkin memang aku yang tidak bisa mengerti cinta ibu pada ku, benarkah ini jalan dari Tuhan? Semua itu tanda Tanya, tak ada yang bisa menjawab, percuma aku memelas, sia-sia aku mengiba dibawah langit dunia.
Aku melangkah menemui mereka, mereka yang kata ibu akan membukakan pintu kebahagiaan untukku, seharusnya kekasihku yang duduk ditempat sakral itu, bukan dia yang sama sekali tidak aku kenal. Tiba-tiba langit menjadi mendung, dunia menjadi gelap, mereka berpesta diatas rasa sakitku.
Hari ini seharusnya aku bahagia, berdiri disini bersama kekasihku, aku menahan semua sakit ini, aku tidak peduli dengan darah jantungku yang hampir berhenti mengalir, di pojok sebelah sana aku melihat Rina tersenyum menyemangatiku, dia seakan berpesan agar aku ikhlas. Aku tahu dia menyembunyikan rasa sakitnya, aku juga tahu tentang sesuatu yang meleleh dipipinya meski cepat ia hapus dengan tisu yang mungkin sudah basah sedari tadi.
***
Bulan enggan menampakkan wujudnya, bintang tak jua mau keluar dari persembunyiannya, hanya suara makhluk malam yang aku dengar dari luar sana, aku masih berdiri seperti pahatan patung tanpa arti. Aku berdiri menatap langit yang tampak gelap, murung, tak semegah kemarin.
Orang itu memanggil namaku. Rasanya tidak rela dia menyebut namaku, rasanya tidak sudi jika aku harus berlemah lembut dihadapannya
“Annisa, diluar ada teman-temanku”… “aku harap kamu mau menemui mereka”
Aku tidak peduli, aku sama sekali tidak bereaksi, tapi aku takut. Aku takut bahwa Tuhan akan melaknatku jika saja aku menyia-nyiakan dia. Seharusnya tak ada lagi hijab antara aku dengan dia, dia telah menghalalkanku, dia telah melerai hijab itu, lalu pantaskah aku mendholiminya? Seharusnya tidak, tapi hatiku masih terluka, bayangan tentang cinta yang lalu tak jua mau menghilang, aku tersungkur tak mampu lagi berpijak.
“sayang, maafkan ibu” tiba-tiba tangan ibu telah melingkar dari balik tubuhku, aku tahu bahwa ibu menangis saat memelukku, aku tahu bahwa ibu ingin aku menerima menantunya itu seperti saat aku menerima keputusan ibu. Aku diam tak mau berkomentar, aku tak kuasa menahan rasa sakit ini ibu, tapi biarlah. Ibu tidak akan pernah tahu, karena ibu egois.
Cercahku dalam hati, aku menahan isakku dari pandangan ibu. Aku pasrah dengan semua ini. Baiklah, aku akan mengikuti semuanya, toh aku hanya robot dalam benak ibu, jadi percuma karena ibu tidak akan mengerti, aku tidak mau mendurhakai ibu, walau sampai saat ini hanya anak yang durhaka, bukan orang tua.
***
Malam yang menyiksaku, aku membanting tubuhku ditempat tidur, aku berharap Tuhan akan mengangkat semua penat ini, semuga ada keajaiban yang akan membuatku terpejam sejenak saja. Saat aku terpejam aku merasa ada yang berdiri membelaiku dari belakang, jari-jari itu melayang dikeningku
“Sayang, badan kamu panas”
“….”
Ah.. kenapa harus bersikap seperti ini, aku tidak mau dia memperdulikanku, tapi malam inidia siaga disampingku, aku tahu semua yang dia perbuat, dia juga yang mengompresku, dia juga yang menungguiku sampai panasku turun. Entah karena lelah atau karna dia tidak sengaja tidur sambil bertumpu pada tempat baringku, aku menatap wajahnya yang ini adalah kali pertama aku memperhatikan setiap inci dari rautnya. Sakit rasanya saat aku menyadari bahwa dia bukan kekasihku. Tapi sampai kapan? Aku harus bisa memulai segalanya dengan dia, bukan ridho atau ibu yang harus bertanggung jawab, aku harus bisa bersikap dewasa menghadapi semua ini.
Pagi kali ini cerah, walau mungkin tidak secerah kemarin. Aku bangkit dari tidurku dengan penuh hati-hati agar dia tidak terganggu, ada rasa kasihan melihat dia semalaman duduk disampingku, dengan sabar dia menjagaku.
“maafkan aku” hanya itu yang bisa aku ucapkan untuk memulai menyapanya, walau mungkin dia tidak mendengar ucapku
“kamu tidak pernah salah, sayang”
Ternyata aku salah, dia mendengar perkataanku, dia ternyata sudah bangun sejak aku bangkit tadi. Ada yang melayang kekeningku, tanpa permisi bibirnya menyentuh bibirku. aku telah memilih jalan ini, lalu kenapa aku harus mencoba kembali kejalan yang lain. Dialah satu-satunya imam dalam hidupku, bukan orang lain atau kekasihku, dia yang seharusnya aku tempatkan dalam hatiku, aku belajar menerimanya dan memperlakukan dia layaknya suami pada umumnya.
***
Malam ini bumiku basah. Hujan telah mengantarkan cerita baru dalam hidupku, cinta ibu mengajarkanku banyak hal, tentang ikhlas yang tak mudah didapatkan, tentang arti hidup yang tak mudah untuk dipahami. Aku mengerti bahwa Tuhan dan ibuku benar-benar mencintaiku, Tuhan telah menganugerahkanku kekasih bahkan lebih dari seorang kekasih, dia selalu memenuhi setiap kekosongan dalam jiwaku, tuhan mengerti yang aku butuhkan, melalui suamiku tuhan mengirimkan semuanya. Dia memperlakukanku seperti seorang putri.
Aku selalu terpesona dengan cinta yang dia persembahkan, harus aku akui tentang sikapnya yang romantis.
Dia mengajakku terbang bebas ke angkasa, dia telah memperbaiki sayapku yang patah, dengan cinta yang dia persembahkan. Dia ciptakan malam yang panjang, malam yang selalu mengajakku bernyanyi dengan lagu kesayangan. Dalam pelukannya yang hangat aku beristirahat, semua penat itu berlalu saat cinta kita menyatu tanpa cela.
Lihat semua bintang bintang itu, tergambar jelas semua kisahku yang lalu, entahlah. Tiba-tiba saja ada yang meleleh saat aku membaca pesan singkat darinya.
“ Ada banyak pertanyaan yang tak sempat kau jawab
Kenapa kau bersikap dingin, lalu menyuruhku untuk mencari penggantimu?
Demi Tuhan!
Aku tulus menyayangimu.
Mengharapkanmu tak ubahnya mimpi
Mungkin saat ini aku tengah menikmati tidurku
Dan aku akan terbangun saat kau pergi tanpa senyum dari mimpiku..
Tunggu sampai aku bosan
Tunggu sampai aku jenuh
Dan tunggu sampai aku lelah
Maka saat itu mungkin cinta dan sayangku telah pudar
Tapi aku takkan pernah berpaling darimu “
Angin masih berhilir ria, tak ada yang bisa menjawab kenapa semua itu terjadi, udara malam tidak lantas membuatku lupa tentang jalan dimasa laluku, saat aku masih berjuang demi cinta dalam hatiku. Semua itu masih tergambar jelas saat aku memulai kisah bersama suamiku ‘Mas Fahmi’ yang saat ini menjadi satu-satunya kekasih yang aku mau.
“ Ibu..
Aku mencintaimu, dan aku yakin ibu mengetahui tentang semua itu
Aku juga tahu bahwa ibu sangat menyayangiku
Oleh karena itu aku akan menuruti setiap keinginan ibu
Termasuk dengan perjodohan yang ibu inginkan
Tapi ibu..
Saat ini aku memiliki seorang kekasih
Dia sangat menyayangiku, begitu juga denganku
Aku sangat menyayanginya, ibu
Tapi demi ibu, aku rela
Aku rela melepaskan separuh hatiku.
Saat ibu membaca surat ini
Aku telah berada ditempat yang mungkin sangat jauh
Tapi ibu jangan khawatir
Aku berjanji pada ibu
Demi cintaku pada ibu
Aku akan kembali sebelum hari akad nikah yang telah ibu tentukan
Aku tidak akan mengecewakan ibu,
Kali ini biarkan aku pamit pada duniaku
Biarkan aku terbang hanya untuk sekali ini saja, ibu.
Sekali lagi aku mencintaimu
Dan aku akan menepati setiap bait dari janjiku”
Aku pergi membawa diri, aku tidak punya tujuan lain selain menemui kekasihku, tapi aku ragu. Aku takut kekuatanku tidak akan cukup untuk menghadapinya, aku tidak akan kuat melihat air matanya, tapi ini kali terakhir aku bisa menemuinya. Sesaat semua terasa gelap, dunia tak lagi bercahaya secerah saat aku masih selalu bersama-sama dengannya. Aku terus berjalan dengan langkah tanpa arah, hatiku ngilu, kepalaku seakan pecah seketika. Entahlah, aku merasa hanya aku yang menderita, hanya aku yang kejam karena telah membiarkan cintanya pergi, ah betapa bodoh diri ini. Tapi aku punya ibu, aku sama sekali tidak bisa memilih, aku tidak bisa menyakiti ibuku, tapi aku tidak kuat harus menghianati kekasihku.
“ Annisa!” sayup aku mendengar ada yang menyebut namaku, aku tak peduli dan pikirku masih saja kosong
“ Annisa, kamu mau kemana?” aku sedikit sadar dan aku mengenal suara itu, iya benar. Dia Rina teman kuliahku, Rina menghampiriku tapi aku sudah sama sekali tidak punya tenaga untuk bertahan, seketika aku roboh dalam dekapnya. Aku terpejam dalam.
Rina langsung membawaku kerumahnya, diperjalanan dia terus mengintrogasiku, aku hanya diam tanpa kata, bisu tak bersuara, yang aku rasa hanya sesak dalam hati. Entah apa yang terjadi tiba-tiba aku sudah berada dikamarnya
“ Annisa, ada apa? ” Rina memelukku yang terus mengisak
Aku mencoba untuk menceritakan semuanya meski dengan sisa tenaga yang lemah
“ dua minggu lagi aku akan menikah, Rin ” ungkapku pilu
“ bukankah kamu seharusnya bahagia?”
“--”
“ aku yakin kamu dan Ridho adalah pasangan yang serasi”
Aku menatap Rina dalam, menarik sekuat nafas yang aku bisa
“Rin, kamu tau bahwa aku sangat mencintai Ridho, tapi mungkin aku tidak akan pernah bisa untuk memilikinya, karena ibuku” paparku sendu
Aku tau Rina tak mengerti “ ibu menjodohkanku dengan laki-laki lain, Rin” tambahku
Rina terperajah sembari mendekapku penuh iba. Aku? Aku tidak bisa lagi bertahan, semuanya menyatu dalam benakku, Ibu, Ridho. Mereka tidak ada bedanya, merekalah orang yang telah memenuhi seluruh ruang hatiku sejak ayah meninggal dua tahun lalu, aku rapuh seketika. Usai sudah, musnah tanpa sisa, cairan beningku meleleh tanpa ampun.
Saat ini hanya Rina satu-satunya sahabat yang bisa mengerti aku, dia yang selalu setia menghibur aku walau buat aku semua itu sia-sia, aku sama sekali tidak bisa meluangkan senyumku apalagi terbahak seperti dulu, senyumku telah musnah seiring dengan musnahnya cinta yang dulu aku rajut bersama kekasihku.
“Plis, Rin. Jangan katakana apapun pada dia”… “biarkan dia membenciku, biarkan dia berfikir sesuka yang dia mau” ….. “sudah cukup aku menyiksanya”
***
Fajar masih terus mengukir cerita sepanjang usia dunia berputar, tanpa henti setia melingkar dalam setiap hati, parasnya yang anggun mengajak semua hati merajut kisah tanpa batas, mencari, memberi, menerima, menemukan, semua itu terjadi tanpa kita tahu, seperti kisahku yang tiba-tiba meremukkan seluruh isi jantungku. Tiga minggu lalu aku mengukir janji pada ibu, begitu cepat waktuku bermuara, ia mengajakku kembali, demi ibu. Hanya itu yang aku rasa dibalik sesak yang aku bawa. Baiklah, jika ini yang ibu mau. aku terpaksa ibu, aku tidak rela dan tidak pernah rela dengan jalan yang ibu ciptakan, kenapa tidak ibu biarkan saja aku terbang dengan sayapku sendiri, kenapa harus ibu patahkan kedua sayapku sekaligus? Tidakkah ibu tahu tentang luka yang ibu ciptakan, aku selalu mencintai ibu dengan kasih yang sempurna, tapi beginikah wujud cinta ibu pada ku? Atau mungkin memang aku yang tidak bisa mengerti cinta ibu pada ku, benarkah ini jalan dari Tuhan? Semua itu tanda Tanya, tak ada yang bisa menjawab, percuma aku memelas, sia-sia aku mengiba dibawah langit dunia.
Aku melangkah menemui mereka, mereka yang kata ibu akan membukakan pintu kebahagiaan untukku, seharusnya kekasihku yang duduk ditempat sakral itu, bukan dia yang sama sekali tidak aku kenal. Tiba-tiba langit menjadi mendung, dunia menjadi gelap, mereka berpesta diatas rasa sakitku.
Hari ini seharusnya aku bahagia, berdiri disini bersama kekasihku, aku menahan semua sakit ini, aku tidak peduli dengan darah jantungku yang hampir berhenti mengalir, di pojok sebelah sana aku melihat Rina tersenyum menyemangatiku, dia seakan berpesan agar aku ikhlas. Aku tahu dia menyembunyikan rasa sakitnya, aku juga tahu tentang sesuatu yang meleleh dipipinya meski cepat ia hapus dengan tisu yang mungkin sudah basah sedari tadi.
***
Bulan enggan menampakkan wujudnya, bintang tak jua mau keluar dari persembunyiannya, hanya suara makhluk malam yang aku dengar dari luar sana, aku masih berdiri seperti pahatan patung tanpa arti. Aku berdiri menatap langit yang tampak gelap, murung, tak semegah kemarin.
Orang itu memanggil namaku. Rasanya tidak rela dia menyebut namaku, rasanya tidak sudi jika aku harus berlemah lembut dihadapannya
“Annisa, diluar ada teman-temanku”… “aku harap kamu mau menemui mereka”
Aku tidak peduli, aku sama sekali tidak bereaksi, tapi aku takut. Aku takut bahwa Tuhan akan melaknatku jika saja aku menyia-nyiakan dia. Seharusnya tak ada lagi hijab antara aku dengan dia, dia telah menghalalkanku, dia telah melerai hijab itu, lalu pantaskah aku mendholiminya? Seharusnya tidak, tapi hatiku masih terluka, bayangan tentang cinta yang lalu tak jua mau menghilang, aku tersungkur tak mampu lagi berpijak.
“sayang, maafkan ibu” tiba-tiba tangan ibu telah melingkar dari balik tubuhku, aku tahu bahwa ibu menangis saat memelukku, aku tahu bahwa ibu ingin aku menerima menantunya itu seperti saat aku menerima keputusan ibu. Aku diam tak mau berkomentar, aku tak kuasa menahan rasa sakit ini ibu, tapi biarlah. Ibu tidak akan pernah tahu, karena ibu egois.
Cercahku dalam hati, aku menahan isakku dari pandangan ibu. Aku pasrah dengan semua ini. Baiklah, aku akan mengikuti semuanya, toh aku hanya robot dalam benak ibu, jadi percuma karena ibu tidak akan mengerti, aku tidak mau mendurhakai ibu, walau sampai saat ini hanya anak yang durhaka, bukan orang tua.
***
Malam yang menyiksaku, aku membanting tubuhku ditempat tidur, aku berharap Tuhan akan mengangkat semua penat ini, semuga ada keajaiban yang akan membuatku terpejam sejenak saja. Saat aku terpejam aku merasa ada yang berdiri membelaiku dari belakang, jari-jari itu melayang dikeningku
“Sayang, badan kamu panas”
“….”
Ah.. kenapa harus bersikap seperti ini, aku tidak mau dia memperdulikanku, tapi malam inidia siaga disampingku, aku tahu semua yang dia perbuat, dia juga yang mengompresku, dia juga yang menungguiku sampai panasku turun. Entah karena lelah atau karna dia tidak sengaja tidur sambil bertumpu pada tempat baringku, aku menatap wajahnya yang ini adalah kali pertama aku memperhatikan setiap inci dari rautnya. Sakit rasanya saat aku menyadari bahwa dia bukan kekasihku. Tapi sampai kapan? Aku harus bisa memulai segalanya dengan dia, bukan ridho atau ibu yang harus bertanggung jawab, aku harus bisa bersikap dewasa menghadapi semua ini.
Pagi kali ini cerah, walau mungkin tidak secerah kemarin. Aku bangkit dari tidurku dengan penuh hati-hati agar dia tidak terganggu, ada rasa kasihan melihat dia semalaman duduk disampingku, dengan sabar dia menjagaku.
“maafkan aku” hanya itu yang bisa aku ucapkan untuk memulai menyapanya, walau mungkin dia tidak mendengar ucapku
“kamu tidak pernah salah, sayang”
Ternyata aku salah, dia mendengar perkataanku, dia ternyata sudah bangun sejak aku bangkit tadi. Ada yang melayang kekeningku, tanpa permisi bibirnya menyentuh bibirku. aku telah memilih jalan ini, lalu kenapa aku harus mencoba kembali kejalan yang lain. Dialah satu-satunya imam dalam hidupku, bukan orang lain atau kekasihku, dia yang seharusnya aku tempatkan dalam hatiku, aku belajar menerimanya dan memperlakukan dia layaknya suami pada umumnya.
***
Malam ini bumiku basah. Hujan telah mengantarkan cerita baru dalam hidupku, cinta ibu mengajarkanku banyak hal, tentang ikhlas yang tak mudah didapatkan, tentang arti hidup yang tak mudah untuk dipahami. Aku mengerti bahwa Tuhan dan ibuku benar-benar mencintaiku, Tuhan telah menganugerahkanku kekasih bahkan lebih dari seorang kekasih, dia selalu memenuhi setiap kekosongan dalam jiwaku, tuhan mengerti yang aku butuhkan, melalui suamiku tuhan mengirimkan semuanya. Dia memperlakukanku seperti seorang putri.
Aku selalu terpesona dengan cinta yang dia persembahkan, harus aku akui tentang sikapnya yang romantis.
Dia mengajakku terbang bebas ke angkasa, dia telah memperbaiki sayapku yang patah, dengan cinta yang dia persembahkan. Dia ciptakan malam yang panjang, malam yang selalu mengajakku bernyanyi dengan lagu kesayangan. Dalam pelukannya yang hangat aku beristirahat, semua penat itu berlalu saat cinta kita menyatu tanpa cela.
Vampir jelita
“Vampir Jelita”
Semua berawal dari dunia maya. Gadis berjilbab itu tiba-tiba bertamu keberandaku. Entah dia sengaja atau tidak, tapi Facebook telah mengukir kisah menarik dalam hidupku. Bunga Jelita. Nama indah itu membuat aku penasaran saat sesekali terlintas gambar profilnya muncul pada saran pertemananku. Sejurus kemudia aku langsung mengusulkan pertemanan dan ternyata dia mengkonfirmasi. ‘Lanjut’ kataku menorah senyum penasaran.
Kali ini dia muncul di obrolanku, satu kata itu membuat rasa ingin tahuku semakin menjadi. Dia menyapaku lewat obrolan. Wah.. kesempatan neh, bolehlah.
Semakin hari dia semakin nyambung saja, kalau aku rasa dia kayaknya ngasih lampu kuning nih buad langkahku berikutnya. Aku tersenyum girang kemudian iseng aku meminta nomor handphone-nya, tanpa harus nunggu waktu lama dia sudah memberikan nomornya, hihi.. ini sudah bukan lampu kuning lagi kayaknya, tapi lampu hijau. Rejeki kali yah?.
Malam ini jadwalku untuk menemuinya. Jangan sampai telat, dan harus berdandan rapi, aku sudah mengatur semuanya, mulai dari tempat dan lokasi. Dia langsung saja meng-iya-kan. Ngebet juga nih Bunga Mawar. Aku sengaja memilih kafe yang tidak terlalu ramai dengan pengunjung. Dari depan pintu kaca kafe aku melihat wanita cantik dengan heels kira-kira duapuluh sentimeter berjalan lenggak lenggok, dah kaya model profesional saja, Ihil. Dia seolah sedang mencari seseorang, terus saja aku memperhatikan dari kejauhan, sambil menunggu Bunga datang, aku perhatikan wanita itu sejak dari lekuk tubuhnya yang terlihat sering melakukan olahraga, kebukti pada perut dan pinggangnya yang ramping, semakin nikmat saja untuk diperhatikan. Aku rasa dia bukan wanita biasa, aku tau betapa tebal dompetnya, berapa banyak kartu yang bisa langsung dia gesek di mesin tuyul itu. Ah, semakin ngawur saja fikiranku.
Dia mendekat dan menjabat tanganku, aku masih melongo tak mengerti tentang sikapnya, mungkin dia sedang salah orang.
“Arul?”
Aku berdiri meng-iya-kan pemastiannya. Si cantik ini langsung duduk didepanku. Aku penasaran sama sekali tak bisa menebak
“aku Jenny, Si Bunga Jelita” ia tersenyum seolah bangga telah mengelabuhiku, dia sangat berbeda dengan gambar pada profilnya, gadis berjilbab itu? Oh my god. Mimpi apa aku semalam sampai-sampai aku dapat kesempatan untuk berkencan dengan bidadari ini
“kenapa bengong aja, Rul?” ia membuyarkan lamunanku
Aku berusaha menyembunyikan salting yang aku derita. Apa-apaan ini, kenapa aku harus gugup.
Acaraku sukses jempolan, Jenny benar-benar beda. Dia terlihat begitu lihai dalam menempatkan posisi, baiklah aku ikuti aturan mainmu, Jen.
***
Kencan pertama sukses sekarang saatnya aku menyusun rencana untuk bisa merengkuh hatinya, aku harus bisa menaklukkan bidadari ini. Aku bergegas untuk menemuinya, katanya sih dia mau ke mall untuk membeli beberapa kebutuhannya. Okelah aku temani, mungkin ini kesempatan baik buat aku untuk sekaligus mengetahui pribadinya semakin jauh. Seperti para wanita pada umumnya, sekali berbelanja bukan hal main-main, hampir saja dia memborong seluruh isi mall, astaga ternyata dia benar-benar berdompet tebal, bolehlah aku berinvestasi.
“Sudah selesai, Jen?”
“iya, ke kasir yuk” bagai kilat menyambar saja, dia langsung pergi tak peduli dengan aku yang kerepotan membawa barang belanjaannya, dia kira aku jongosnya kali yah? Menyedihkan. Tapi nggak masalah, setelah ini aku akan mengecap buah yang teramat manis, jadi semangat nih. Aku lihat dia mengeluarkan dompetnya, demi jaga image “Biar aku saja yang bayar, Jen” aku menyodorkan kartu kreditku. Aku lihat dia tersenyum pasrah memanjakan diri menggandeng tanganku. Nggak sulit ternyata buat menaklukan bunga satu ini.
***
Aku tau tentang seleranya, wanita se-indah dia tidak akan sembarangan memilih tempat makan, okelah aku berkorban sedikit saja untuk mengikuti apa yang dia mau, restaurant mahal itu yang dia mau malam ini. Melihat gayanya yang perlente hampir membuat mataku siwer, sempurna.
Gaun bermerek yang membalut ditubuhnya membuat dia terlihat semakin seksi, bisa saja jika aku jatuh cinta benaran pada gadis ini, tapi itu harus bisa aku cegah dan tidak akan terjadi. Dia bunga yang akan layu setelah aku petik, jadi tunggulah sampai hatimu benar-benar takmampu menolakku.
Aku tau dia takkan menolak, selama ini dia selalu menuruti ke inginanku. Terbukti bahwa dia tidak akan menolak tentang apa yang ada dalam otakku. Tubuh seksi itu membuat semua kuman dalam otakku keluar, hasratku tak bisa lagi tertahankan
“Jenny, aku antar kamu pulang ya?”
“masih jam segini, Rul” ia menolak
“jadi kamu nggak apa-apa kalau pulang malam?”
“aku rasa begitu”
Baiklah, dia memang selalu memberikan aku kesempatan emas, aku bisa leluasa bermain dengan bunga ini.
Dia mulai memegang tanganku. Aku tau dia mulai menginginkanku seutuhnya, aku tau tentang hasrat yang dia pendam. Dia benar-benar sudah mengerti betul dengan suasana malam dalam dunia para pencinta.
***
Sudah saatnya aku melancarkan segalanya, sudah saatnya aku memanen hasil. Aku berniat mengajak Jenny ke mall, ada sesuatu yang harus aku beli hari ini. Aku memborong semua, seperti yang dilakukan Jenny beberapa waktu lalu, toh ini semua dia yang akan membayar, tidak perlu aku risau dengan tagihan yang membengkak. Aku lihat Jenny sudah memborong banyak belanjaan, kasir sudah menunggu dan aku sudah tidak sabar untuk menikmati fasilitas mewahnya. Aku berpura-pura menerima telepon dari seseorang dan menyibukkan diri supaya aku punya alasan untuk tidak perlu membuka dompet
“Mbak, maaf kayaknya dompet saya tertinggal” ia mencari-cari isi tasnya
“bisa dipending dulu nggak, Mbak?.” ---“saya mau pulang mengambil dompet dulu, Mbak”
“kenapa tidak mas-nya saja yang membayarinya dulu, Mbak?” sambung kasir itu sambil menunjuk ke arahku. Aku tidak punya alasan untuk menolak, dan terpaksa aku yang harus mengorbankan kartu kreditku.
“Sorry ya, Rul” --- “entar aku ganti deh” tambahnya seolah tak enak hati. Ya, seharusnya memang kamu menggantinya, setelah ini kamu akan mengganti dengan yang lebih
Satu-satunya alasan untuk aku bisa mendapatkan yang aku mau adalah dengan cara mengencaninya. Berbeda dengan sebelumnya kali ini dia hanya memakai baju sederhana tapi predikat mewah yang dia sandang tetap saja tergambar jelas, aku penasaran dari mana dia mendapatkan fasilitas mewah itu, seberapa tajir sih orang tuanya. Aku seperti menemukan harta karun yang siap membuatku jadi jutawan. bukan hanya itu, parasnya yang sempurna juga akan melengkapi kebutuhanku. Ah, betapa beruntung nasibku.
***
Aku semakin gencar memikat Jenny, selama ini selalu saja ada alasan untuk aku mengalah, tidak seperti biasa saat aku bisa dengan leluasa menikmati dompet berjalanku pada sebelumnya. Aku harus bisa menyusup kerumahnya, aku ingin Jenny mengenalkanku pada orang tuanya. Malam ini dia mengajakku ketemu, tapi tidak ditempat makan apalagi kafe. Dia memintaku menemuinya disebuah taman. Mungkin saja dia ingin merasakan suasana romantic seperti pasangan remaja sekolahan sampai-sampai dia mengajakku ke taman
“sorry aku telat, Jen”
Dia hanya tersenyum meng-iya-kan, dia berdandan ala remaja SMA yang hanya memakai rok mini dengan kaos berbahan style Korea. Ada-ada saja, dia membangkitkan birahiku. Melihat kulitnya kesat dibawah lampu merah taman. Aku berusaha memeluknya tapi ia menolak.
“kenapa?” aku kecewa
“….”
“Jenny?”
Aku kira dia keberatan menerima pelukanku, ternyata salah. Dia memilih sendiri bagian tubuhku untuk dia peluk, dia memelukku erat seakan tak ingin lepas. Aku mengeluarkan semua kata-kata romantic untuk membiusnya. Kapan lagi.
Malam serasa bersahabat, dia seolah ingin mengatakan sesuatu padaku. Aku masih terus berusaha mengajaknya terbang dengan sejuta pujian.
“Arul, aku ingin katakan sesuatu padamu” dia melepaskan pelukannya
“katakana saja” aku penasaran
“statusku saat ini adalah seorang istri, suamiku saat ini sedang ada diperjalanan untuk menjemputku pindah ke luar negeri. Aku akan ikut suamiku karena dia memutuskan akan menetap disana”
Deggkk..!!!
Aku merasa dipermainkan dan tidak terima, dia tidak bisa mencampakkanku begitu saja.
“apa alasanmu melakukan ini?”
“aku hanya ingin bermain-main. Sama seperti yang kamu lakukan” tegasnya
“thank you, Arul. Thanks buat semuanya” ia berdiri melepaskan tangannya dari pangkuanku. Dia berlalu dan aku masih tidak percaya. Bodoh, aku menjadi korban wanita jalang itu. Rupanya aku yang harus menangis darah, bukan dia seperti yang telah aku rencanakan. Aku berusaha mengejarnya tapi dia telah hilang termakan waktu. Ah, sial.
***
Kali ini aku gagal, Jenny telah mematahkan rasa percaya diri dalam jiwaku, jika sebelumnya aku berhasil melakoni aksi nakalku tapi kali ini tidak, aku merasa telah memfasilitasi seorang perampok. Dia kabur begitu saja dari hadapanku. Aku tertipu begitu saja oleh parasnya yang menyilaukan. Jelas saja dia lihai memainkan semuanya, jelas saja dia hidup mewah. Dia bahkan telah mempunyai mesin tuyul otomatis yang bisa kapan saja dia mintai.
Aku tertawa geli mengingat semua itu, aku merasakan apa yang mereka rasakan. Menjadi korban manisnya cinta. Dulu aku dengan gampang meninggalkan mereka setelah aku bosan dan menemukan lahan yang lebih subur, sekarang aku merasakan semua itu. Rupanya aku tertipu. Bukan emas atau perak yang aku dapat, tapi sampah tak berarti yang aku terima dari bunga indah itu.
Aku melihat akun Facebooknya telah terhapus, dia benar-benar telah menghilang, dia menghisap darahku seketika.
Lepelle, 16 Oktober 2012
Minggu, 01 Januari 2012
*..BeRsAmA RiNdU qOe..*
*..BeRsAmA RiNdU qOe..*
qOe tatap dalam mataMu, ada
Cinta yang
yang selalu qOe
butuhkan, ada rasa yang
selalu qOe
inginkan, tak dapat melepaskn
nya walau dalam
hitungan detik, qOe rasa
qOe tlah jatuh
cinta pada makhluk indah
sepertiMu, di
antara hitungan waktu qOe
mengejar
bayanganMu, meski qOe tau qt
berjarak, tp qOe
yakin hatiMu disini bersama qOe, menemani disetiap mimpi qOe… Inilah hati qOe,
bila kau ingin tau, tataplah aqOe dari kejauhan sana ,
pastilah kau kan
temukan cairan rindu qOe, yang selalu berharap tanpa restu..
Hai bintang
kehidupan qOe, kau kan
selalu bersinar dihati qOe, sampai kau bisa merasakannya, betapa rindu ini
telah mendera qOe,,,
aLways tOgetHer n FoReVer…
*”..~waNda^..”*
Jumat, 30 Desember 2011
“ Aku, Kau Dan Kakakku “
“
Aku, Kau Dan Kakakku “
Dunia
masih tawarkan cahaya, kukelilingi dunia khayalku menjelajah sampai ke istana
jingga, semua terasa menghampiriku, seakan menyuruhku untuk mengingatnya, tanpa
kusadari ternyata kerjaan ini mengingatkanku padanya, orang yg sempat kukagumi.
Begitu banyak
sosok yang berperan dalam kisah ku di ma’had, Nina sahabatku, mbak Lia teman
kamarku, juga ustadzah ustadzah yang ikut meramaikan dunia ku
"Nin,
temani ana yuk ke counter." ajakku pada Nina sahabatku
"emang
mau ngapain sis..?"
"mau
main bola,,!!," jawabku sinis "ya ke counter mau ngapain lagi kalau
bukan isi pulsa, Nin" tambahku
"oh,
ana kira mau ngapain,," sergahnya
kami langsung menuju counter yang
letaknya tidak jauh dari pondok, dan counter itu juga masih milik dari keponakan
bapak pimpinan.
"Ada yang bisa ana bantu, ukhtie..?" sapa
seseorang dari dalam
"hm,
mau beli pulsa ustad.." jawabku singkat
"iya
tunggu sebentar ya, orangnya masih ganti baju, sambil nunggu duduk saja
dulu," terangnya sambil mempersilahkan kita duduk, aku dan Nina masih
tenang-tenang saja ditempat itu, aku masih berdiri membalikkan badanku melihat
jalan didepan konter yg dipenuhi kendaraan dengan melipat tanganku dibelakang.
"siska,
ngapain berdiri disitu?, duduk napa?.." panggil Nina yang sejak tadi
langsung duduk setelah dipersilahkan.
"iya,
ada apa, Nin?" tanyaku sambil mendekati sembari mengambil tempat duduk.
"nggak
ada apa-apa sih"
"eh
Nin, anti tau nggak siapa cowok itu?" sambil mengerdipkan mataku pada
cowok yang menyapa tadi,
"ana
juga tidak pernah tau, Sis. Tapi kayaknya bukan anak sini deh, penampilannya
beda sama anak putra sini "
"iya,
lihatin aja, dia dari tadi asyik banget mainin ha_Pe nya"
"ya
sudahlah, kan
terserah dia, wong Ha_Pe nya, Ha_Pe nya dia, kok malah anti yang sebbel lihatnya..?"
"ye
ini orang, siapa yang sebbel?, nggak banget kalle.."
"tapi
ko' aneh sih, sis?, biasanya anti nggak pernah peduli dengan penampilan orang,
tapi kok ini lain?"
tanpa sempat ku membela diri dari
fikirannya yang ku rasa negatif, ustad Fauzi, si pemilik counter datang dan
bertanya
"uktie,
siapa yang mau beli pulsa?"
"Ana
ustad.." jawabku segera
"mau
nominal berapa?,"
"sepuluh
ustad,"
"kartu
apa?,"
"
IM3 "
langsung ku baca nomorku, dan tanpa
nunggu waktu lama ternyata pulsanya sudah terkirim.
"sudah
masuk?" katanya memastikan
"iywah
ustad, tsukron..!" kataku sambil membayarkan uang padanya, kemudian langsung
kita akhiri transaksi sembari meninggalkan tempat itu, dalam perjalanan
bayangannya menempel dikepalaku, baru kali ini ada orang yang buat aku seperti ini,
dan anehnya lagi orang itu sepertinya cuwek banget, dan itulah yang membuat aku
semakin ingin tau.
"Nin,
ana ko' penasaran ya sama orang tadi.."
"orang
tadi yang mana?, oh yang diCounter barusan?"
"iya,
tapi bukan ustad fauzi lho,,"
"Ye,
semua orang juga pasti udah tau kalau orang yang anti maksud itu cowok yang
tadi kan ?.."
"iya,
kira2 dia siapa ya?"
"ana
juga kurang tau, Sis, tapi anifan dia merhatiin anti dari atas sampai bawah
lho, pas anti berdiri menghadap jalan,,"
"iya?.."
memastikan kalau itu mang benar
"ya
iayalah, masa' ana bohong sih sis,,"
kenapa ada perasaan aneh dalam diriku,
biasanya aku tidak begitu peduli dengan orang, tapi kali ini dia benar2
misterius, dan telah ngebuat aku penasaran, dengan penampilannya yang seperti
seorang kiayi muda, semakin tampak kegagahannya.
Sampai di Ma'had aku masih
tercengang cengang sendiri, entah apa yang ada difikiranku, semua seakan
menyuruhku untuk kmbali ketempat tadi untuk menemuinya, dan membicarakan
sesuatu dengannya, tapi itu konyol, dalam fikiranku masih bertanya-tanya, siapa
dia, dan kenapa bayangannya mengikutiku sampai kekamar ini, aku yang kebetulan
sendiri dikamar menjadi semakin leluasa untuk memikirkannya, tanpa ada satu
orang pun yang mengganggu, Nina juga pergi entah kemana.
Mentari mulai pamit dari
singgasananya, seakan bersalam dan entah besok masih bisa menemani, anginpun
kencang meniupi jilbabku yang sedang duduk diatas bangunan ma’had sambil
menyaksikan kuningnya matahari, dalam lamunan dia masih yang terindah, sunyipun
ikut menyaksikan dan merasakan betapa aku telah dibuat gelisah oleh pertemuan
yang tanpa sengaja itu. Mengingati parasnya membuat aku tersenyum,
“hayo..!!, lagi ngapin..?” Nina
tiba-tiba datang mengagetkanku dari belakang
“Nina,,,!” teriakku “nggak tau orang
lagi khusuk apa?”
“ow cah ayu, kaget..?” candanya
“lagi khusuk mikirin dia kan ?”
“Mikirin dia siapa?, sok tau anti..”
ketusku
“siska, siska, anti kira anti bisa
bohong ma’i?, ya nggaklah, ana tau anti sedang dirasuki bayangannya kaan?,
udahlah ngaku aja, kalau tidak entar ana dului lho….” Candanya yang tidak lepas
dari cubitan di tangan kananku
“kalau anti udah tau apa yang ana
fikirkan, knpa masih nanya?”
“karna ana mau dengerin anti ngomong
aku telah jatuh cinta nin, gtu..!”
“oh,
iya???”
“iyalah,
karna selama inikan anti tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta, dan
akhirnya sekarang anti merasakannya..”
“Ah,
sudahlah, ini tu bukannya cinta, melainkan rasa penasaran yang bukan tidak
mungkin kalau besok bakal hilang, jadi hentikan ocehanmu Nina sayang, karna
sudah magrib,,”
Ku
tinggal dia sendiri dengan semua lamunannya yang terus menerus mengajakku untuk
mengenal cinta, dan ku langsung mengambil wudlu karna ingin sholat magrib.
Setelah selesai ku ambil mukenah dan larut dalam kekhusuan memuji_Nya,
mengagungkan asma_Nya, kurasakan betapa besar anugrahnya pada mahkluq yang
telah diciptakannya, selesai sholat ku baca beberapa ayat Al-Quran, berharap
bisa menenangkan fikiran ku yang telah diganggu oleh bayangan aneh, sampai tiba
waktu isya’ dan ku tuntaskan kewajibanku pada_Nya, menyelesaikan kewajibanku
sebagai muslim, santri santri yang lain juga tengah khusuk dengan sholat isya’
berjamaah, tanpa menunggu mereka aku langsung kembali ke kamar, mengambil
bantal dan berusaha tenangkan fikiran yang sudah seharian berkelana
kemana-mana. Ku masih susah untuk pejamkan mata, bayangannya seakan menempel
dikepalaku,
“Sis,
anti kok sudah disini?, nggak sholat berjamaah?” mbak Lia senior ku yang
tiba-tiba datang menanyaiku
“eenngg…nggak
mbak, anifan ana sholat sendiri..”
“kenapa?,
kalau mbak anti tau anti nggak sholat berjamaah, bisa-bisa anti dapat
hukuman..”
“iya
mbak, tapi jangan sampai mbak ana tau, ana sebenarnya lagi nggak enak badan,
makanya ana pilih sholat sendiri tadi..”
“ya
sudah sekarang anti istirahat saja kalau begitu”
“Iya
mbak, tsukron”
Aku
merasa bebas dari hukuman karna mbak lia masih mau diajak damai, dan semoga
mbak Zara nggak tau kalau tadi aku tidak berjamaah, karna biarpun dia saudara
kandungku yang telah jadi ustadzah di ma’had ini tidak akan segan-segan
menghukum ku kalau tau aku berbuat salah.
“Assalamualaikum..”
suara seseorang mengetok pintu
“wa’alaikumsalm”
serentak jawabku dan mbak lia, suaranya terdengar begitu lembut, itulah suara
mbak Zara kakak kandungku
“siska,,,!,
anifan mbak tidak melihat anti berjamaah, kenapa?”
“eenng,
ana sholat sendiri mbak,,” jawab ku ramah dan tertunduk tak berani menatapnya
“dik,
mbak nggak nanya anti sholat ma’a man, bal mbak nanya kenapa anti tidak
berjamaah..”
“ana……..”
penjelasanku terpotong karna mbak lia langsung membelaku
“Maaf
ustadzah, kalau boleh ana menjawab, sebenarnya siska sedang sakit, maka dari
itu dia memilih untuk tidak berjamaah tadi..”
“dik,
benar anti sakit?, tapi kenapa anti tidak ngomong sama mbak..?”
“ana
nggak mau dibedakan dengan santri santri yang lain mbak, antum mbak ana
dirumah, tapi kalau disini antum adalah guru ana, jadi ana nggak mungkin minta
perhatian antum berlebihan, ”
“iya
mbak tau, anti malukan kalau mbak perhatiin anti seperti dulu sebelum anti mondok,
alasanya karna anti sekarang sudah Tsanawiyah, padahal anti itu masih butuh
mbak dalam segi apapun,,”
“tapikan
ana juga ingin seperti anak yg lain mbak, benar-benar mengurus dirinya
sendiri..”
“ya
sudah, sekarang anti ikut mbak,,”
“ikut?,
ikut kemana mbak?..”
“anti
kekamar mbak sekarang, minum obat lalu istirahat”
“ke
kamarnya ustadzah?”
“iya,
emang kenapa?,”
“nggak
ah mbak, ana disini saja, ana nggak enak sama teman yang lain”
“ya
sudahlah sis, menurut ana sih lebih baik anti turuti kata ustdzah, anti
bilangkan ustdzah adalah guru anti, jadi anti harus jalani perintahnya asalkan
itu demi kebaikan” mbak Lia menasehati
Aku
kehabisan alasan saat itu, aku masih tetap tidak mau, karna sebenarnya aku
sakit bukan karna penyakit, melainkan hatiku yang sakit, gara-gara aku ngomong
ke mbak lia bahwa aku sakit jadi seperti ini, aku harus hadapi kebohonganku itu
“lia,
siska ana bawa ya, nanti kalau teman-temannya nanya bilang saja malam ini siska
tidur dikamar ana”
“iywah
ya ustadzah” jawabnya ta’dzim layaknya menghormati pimpinan pondok, aku
langsung dibawa kekamarnya, dan didepan kamar tiba-tiba mbak Rosa
dan mbak Fitri turun dari tangga mushollah didepan kita berjalan
“Rosa,Fitri,
sudah selesai ngajinya?” tanya mbak Zara pada mereka yang sepertinya menyimpan
banyak pertanyaan yang ingin dikeluarkan saat melihat ku digandeng oleh mbak ku
yang sekaligus gurunya
“sudah
ustadzah..”
Tanpa
basa-basi aku langsung dibawa kekamarnya, dalam kamar itu ku lihat ustadzah
liesa yang masih lengkap dengan mukenahnya,
“Siska,,?,
adikmu kenapa Zar?” tanyanya pada mbak Zara yang masih memegang pundakku
“ini
lies, dia sakit, untuk malam ini dia mau ana ajak tidur sama kita, boleh kan ?..”
“ya
bolehlah Zar, lagiankan dia masih harus di jaga anaknya,,”
“maksud
anti?..” mbak tak mengerti
“diakan
anaknya masih gemesin, jadi ya perlu dijagain”
Aku tidak suka dibilang anak kecil
mulu, pada kenyataannya sekarang aku sudah mulai merasakan yang namanya getaran
rasa takmenentu, tapi kenapa musti dibilang anak kecil.
“ya
sudah, sekarang anti istirahat, siapa tau besok sembuh, tapi minum ini dulu”
sembari menjulurkan tangan yang berisikan satu butir obat padaku yang sudah
berbaring diranjangnya, terpaksa ku ambil obat itu dan segera menelannya, meski
sempat ku tertawa lucu karna dalam hati ada pertanyaan konyol yang tiba-tiba
buat aku tersenyum dalam hati”apa mungkin perasaan gelisahku karna dia bisa
diobati dengan sebutir obat?” gumamku
“ya
sudah sisk, benar apa kata mbak anti, anti istirahat saja, biar besok bisa
kembali normal” ustadzah liesa yang sepertinya juga merhatiin aku yang
benar-benar disangka sakit.
Aku
tidak lagi berkomentar, karna mungkin mimang lebih baik aku istirahat dan
menghilangkan semua fikiran tentangnya, dibantu mbakku yang begitu perhatian,
sesaat semua telah menghilang dan akupun terlelap dalam kesunyian, diliputi
rasa rindu yang telah membuat kegelisahan, membutakan mata naluri, hinggaku
terpaksa berbohong atas apa yang sebenarnya terjadi terhadapku.
Lelapku
berakhir dibangunkan shubuh yang mengajak penghuni ma’had beribadah pada_Nya,
mengadu akan semua rasa dan keluhan, sungguh indah ditemani embun segar
menyisipkan ketenangan
“
Shobahal khoir ukhtie, gimana sakitnya masih?.. ” sambut mbak Zara penuh senyum
dengan segala perhatiannya.
“
Shobahannur ukhtie, alhamdulillah kayaknya agak mendingan” jelasku “ ya sudah
ya mbak ana langsung ke kamar saja,,” tambahku
“
Emangnya kenapa?, kayaknya anti nggak betah banget tinggal dikamar mbak, apa
mungkin disini kamarnya menakutkan bagi anti..”
“
Oh, sama sekali nggak mbak, ana Cuma nggak enakan saja sama ustadzah liesa,
biar gimanapun anakan beda status dengan mbak..”
Mbak
Zara diam setelah menerima penjelasan dari ku
“
kenapa musti merasa nggak enak sih, sis, bukankah emang sudah seharusnya anti
lebih melakukan pendekatan dengan mbak anti, karna ana lihat kayaknya anti
nggak mau banget kalau anti dapat perhatian lebih dari mbak anti, dengan alasan
anti nggak mau dianggap anak kecil lagi.. ” ungkap ustadzah liesa yang
tiba-tiba datang dari kamar mandi samping.
Semua
hening, tak ada yang mau membantah, pun mbak Zara demikian
“
tapi kan ana
mau sholat berjama’ah ustadzah, jadi lain kali saja ana kesini lagi..”
“
ya sudah kalau begitu, cepatan siap-siap, sebentar lagi sholatnya akan dimulai,
dan hati-hati juga, kalau emang nggak kuat berjama’ahnya nggak usah
dipaksain..” mbak Zara mengingatkan
“
ya sudah, ana pamit dulu mbak, ustadzah, tsukron katsir. assalamualaikum..” aku
segera pamit dan cepat-cepat berlalu dari mereka.
Dalam
perjalananku yang tidak begitu lama, bayangannya kembali menemani, kucoba
menghilangkannya dengan usaha yang tak ada hentinya, namun ternyata hasilnya
kembali nol. Entah mengapa seperti itu,
***
Embun
pagi menyambutku penuh kesegaran, mengajakku marangkai kebahagiaan, oh Tuhan,,
Betapa besar anugerah yang telah kau berikan.
Saatnya kita
kembali menjalankan rutinitas yaitu masuk kelas dan belajar disana
“
Nin, sudah selesai belum..? “
“
Bentar lagi, sis. Nih masih ngambil buku..”
“
Cepetan, ana pingin cepat – cepat ke kelas hari ini..”
“
emangnya ada apa..?, kok tumben, biasanya anti suka telat, dan sekarang baru
jam segini kayaknya dah buru – buru banget..”
“
udah nggak usah komentar, yang penting cepetan..”
“
iya – iya, ni ana dah selesai, berangkat sekarang..?” ungkapnya sembari
mendekat
“
ya iyalah, nina sayang, masak besok..?”
“
jangan galak donk, jadi menyeramkan gitu..” usilnya
“
Biarin, lagian anti lama banget.. ayo..” ajakku sambil narik tangan Nina yang
tidak mau turun dari lantai depan kamar yang sedikit lebih tinggi dari
permukaan tanah..
“
Siska..!” tiba – tiba mbak Zara memanggilku
“
anti sudah mau berangkat, apa tidak salam sama mbak dulu..?” tambahnya
“ afwan mbak, tadi siska
buru – buru..”
Langsung ku hampiri mbak Zara dan menyalaminya,
Nina juga mengikuti ku dan berpamitan padanya
“
Siska berangkat dulu mbak, Assalamu’alaikum..”
“
Wa’alaikum salam ”
Cepat cepat ku menuju kelas meski ku lihat anak-anak
yang lain masih berkeliaran diluar, sekitar lima menit kemudian kita sampai
diruangan kelas dan ku mengambil tempat duduk tepat disamping jendela kelas
yang juga tepat di depan meja guru, Nina juga duduk disamping ku dan tanpa
sengaja ada sesuatu yang mengalihkan perhatian ku tiba tiba, dari kejauhan ku
melihat seseorang yang telah membuatku tidak tenang sedang duduk disamping
koperasi Ma’had, seperti biasa dia selalu asyik dengan ponsel ditangannya,
posisi kelas yang di tingkat atas menjadikan ku lebih gampang untuk melihat
dia.
“
Nina….!!! ” panggilku pada nina yang sepertinya sedang asyik membaca buku dan
entah buku apa, lalu ku hampiri dia
“
Coba lihat ada siapa disana ” paksa ku menariknya beranjak dari tempat yang dia
duduki
“
Siska…!!! ” sergahnya
“Lho..?
kenapa, Nin? ”
“
anti yang kenapa? ” .. “ anti sadar tidak kalau anti itu aneh? ” tambahnya
Aku diam dan sedikit sadar kenapa aku bisa segirang
ini saat melihat dia, aku bertanya dan entah pada siapa, ‘mungkinkah?’ gumamku
Kali ini Nina tidak banyak berceramah, dia sedikit
lebih diam dari biasanya, jika biasanya dia selalu usil tapi kali ini diam dan
kembali pada tempat duduknya, perlahan anak anak yang lain masuk satu persatu
hingga memenuhi kelas dan memnjadikan kelas lebih ramai kemudian disusul oleh
ustadzah Nadarulkhoir yang akan memberikan pelajaran hari ini.
Aku masih belum bisa menyatukan fikiranku, kenapa
aku harus melihatnya lagi, jika tidak mungkin aku akan bisa sedikit fokus pada
mata pelajaranku.
***
Saat dunia terlihat indah dimata mereka, lalu saat
raja langit memperlihatkan keindahannya, sungguh tak ada yang bisa menyangkal,
menakjubkan mimang..
Bintang disana begitu damai, juga bulan yang
nampak anggun tengah menebar rona, namun hatiku tak bisa ikut ceria bersamanya.
Minggu ini adalah minggu yang melelahkan, betapa tidak.. aku gelisah dan hampir
tak kuasa menahan perasaanku, perasaan yang mungkin mereka sebut Rindu, aku
ingin sekali lagi melihatnya berada di depanku dan jika saja mungkin aku ingin
dia menyapaku sekali lagi seperti waktu itu dengan sebutan ukhtie. Ah khayalku
telah sampai diseluruh penjuru, seharusnya tidak seperti itu namun itulah.. aku
sama sekali tidak mampu menghalanginya untuk berhenti memikirkannya, sosoknya
benar benar membuyarkan segalanya, sugguh melebihi misteri..
Seperti biasa, aku dan nina selalu menghabiskan
waktu ditempat ini yaitu lantai bagian atas gedung ma’had, aku tidur terlentang
seakan tertindih beban yang entah sberapa besar, Nina nampaknya masih setia
menemani ku dan mendengarkan semua keluh yang ku paparkan padanya
“ siska…!!! ” … “ anti
tidak boleh seperti ini terus, anti harus tegas memutuskan hal yang akan anti
kerjakan, jangan berdiri ditengah tengah pintu seperti ini, anti harus berani
memilih, masuki pintu itu atau keluar segera dari pintu itu ” tambahnya
menasehati
“ Ntahlah, Nin ” jawab ku
hampa
“ kembalilah seperti
semula, siska.. atau jika tidak maka cari tau siapa dia ” seketika aku menarik
pandanganku dari bintang bintang itu dan menatap mata Nina dalam. ‘ Benar ’
gumamku, aku harus tau siapa dia, aku tidak seharusnya diam seperti ini
“ iya, Nin.. tenang saja,,
ana yakin semua akan kembali seperti semula ” jawab ku tenang sembari tersenyum
menunjukan bahwa aku bisa
“ sudah larut, besok kita
harus apel pagi jadi sebaiknya sekarang kita turun dan kembali kekamar ” nina
berdiri dan menjemput tangan ku yang lemah dan lalu menggandengku meniti tangga
satu persatu. Dia menggiring ku sampai kekamar, tak ku sangka nina yang supel
ternyata begitu perhatian pada ku, dia begitu peduli dan menunjukan betapa dia
sangat menyayangiku.
Nampaknya mbak Lia belum tidur, aku lihat dia
masih berteman dengan tumpukan buku didepannya yang berserak diatas meja kecil
disamping pintu
“
mbak.. belum tidur? ” tanyaku yang lebih berarti sapaan itu
“
Siska, Nina.. kalian kenapa baru turun? ”
Nina terlihat seperti menarik nafas untuk
menjawab, lalu buru buru ku jawab
“
afwan, mbak.. anifan kita tertidur di atas ” jawabku sekenanya
“
iya, mbak.. kita tertidur ” kata nina menguatkan
“
sisk, tadi ustadzah Zara kesini nanyain anti ”
“
lalu?, mbak bilang kalau ana di atas ? ”
“
tanpa dikasih tau juga pasti ustadzah Zara tau anti dimana ”
“
lagian kenapa kalau ana ngasih tau ustadzah kalau anti di atas? ” tambahnya
“
enng.. ya nggak apa apa sih, mbak.. ana takut dikira kemana kemana ja ” bela ku
gugup “ ya sudah kalau begitu kita
duluan ya mbak, sanastarohah awalan ” lanjut nina
Sesaat lalu aku dan Nina larut dalam mimpi yang
tak mampu kita terjemahkan.
***
pagi ini tidak secerah biasanya,
cahaya matahari sedikit terhalang oleh gumpalan awan, redup bagai tanpa gairah
seolah menggambarkan perasaanku yang juga redup tanpa gairah, apel pagi ini
sama sekali tidak menarik perhatianku, aku hadir ditengah tengah mereka seolah
bisu, tak peduli apa yang tengah mereka sampaikan padaku, saat para santri
menyapaku kemudian ku biarkan sapaan mereka berlalu dikeramaian, aku yang
hampir semua santri mengenaliku karna status ku sebagi adik dari ustadzah
mereka, dan mimang harus ku akui bahwa mbak Zara mimang cukup tenar di ma’had
ini, selain dia seorang ustadzah mbak Zara juga terkenal karna keanggunannya,
sikap lembutnya, juga parasnya yang jauh lebih cantik dari ku, bahkan aku
begitu mengidolakan dia selama ini.
Apel pun selesai, lalu persiapan untuk mengikuti
upacara karna hari ini hari senin, tentu aku harus kelapangan meski dengan
suasana hati yang sedikit tidak bergairah, sepanjang perjalanan aku sama sekali
tidak mengangkat kepalaku, yang kurasa hanya tangan Nina yang menggandeng ku
sambil bercerita meski aku sendiri tidak tau apa yang dia ceritakan, sesekali
saat dia meminta pendapatku tentang hal yang dia ceritakan aku hanya mengangguk
kecil seakan menyetujui pembicaraannya, lalu tiba tiba Nina menghentikan
langkahnya, mulutnya juga ikut diam menyudahi semua yang dia ceritakan pada ku.
“
Nin, kenpa berhenti? ” tanyaku ingin tau
Nina sama sekali tidak menjawab, ku lihat dia
sedang melihat fokus pada suatu arah, ada sesuatu yang mengharuskan dia melihat
itu, aku mengangkat pandanganku lalu aku mencari arah yang dia lihat, dan
ternyata benar. Disana, tepat dipinggir lapangan sebelah sana ada mbak Zara
sedang asyik membicarakan sesuatu dengan seseorang yang selama ini aku cari
cari, aku melihat ada ke akraban terjadi disana, mbak Zara nampak begitu hepi,
terlihat dari senyumnya juga ketawanya begitu lepas. Seketika aku cemburu
melihat ke akraban mereka, aku merasa mbak Zara seakan akan telah merebut dia
dariku, meski aku sadar kenyataannya mimang aku tidak kenal dengan dia, tapi
kenapa aku harus cemburu dengan mereka
“
siska, dia kan cowo yang selama ini anti cari,
ya kan ? ”
tegas Nina demi mengakhiri lamunanku, seakan dia mngerti apa yang tengah ku
rasakan, pertanyaan Nina ku biarkan berlalu kemudian ku memberanikan diri
melangkah lagi untuk mengikuti upacara.
Malam ini mungkin aku akan mengajak nina ketenpat
biasa kita, yaitu di atas gedung sana ,
selesai berjamaah sholat isya’ tiba tiba saat aku berniat turun dari mushollah
terdengar suara mbak Zara memanggil ku “ dik ” dia menghampiriku
Ku menoleh ke arahnya sembari tersenyum padanya,
meski senyum itu mungkin sedikit ku paksa
“
iya ustadzah? ”
“
habiz ini anti mau ngapain? ” tanyanya ramah
“
tidak adak ustadzah, PR buat besok juga sudah ana kerjakan, kenapa? ”
“
ya sudah kalau begitu habis ini anti temui ana di kamar ”
Tanpa menunggu ku menjawab dia langsung pergi
menuju kamarnya yang terletak dibawah sebelah kanan musollah sedang kamarku
disebelah kiri, dia berlalu dari hadapanku dan kebetulan, rasa rasanya aku
ingin sekali mendapatkan informasi tentang cowo yang tadi pagi mengobrol
bersamanya.
Ku lihat mbak Zara duduk didepan kamarnya
beralaskan sajadah yang dilipat jadi dua, mungkinkah dia tengah menunggu ku, ntahlah
lalu ku menghampiri
“
Assalamu’alaikum, Ustadzah Zara ”
“
Wa’alaikum salam ” … “ duduk sini, dik.. temani mbak sebentar ” pintanya sambil
mempersilahkanku
Aku gugup untuk duduk didekatnya, entah karna aku
ingin menanyakan sesuatu atau karna aku duduk bersama dengan guru yang
sekaligus kakak kandungku
“
anti ada masalah, dik? ” katanya menyelidiki gelagatku
Dengan nada gugup aku menjawab sekenanya
“
Nggg,, nggak ustadzah ”
“
sekarang ana mbak anti, dik. Panggil ana mbak Zara dan bukan ustadzah Zara ”
“
lalu kenapa anti terlihat seperti kehilangan semangat begitu? ”
Aku menarik nafas dalam dan tersenyum seolah ingin
menunjukan bahwa aku baik baik saja
“
ya sudah kalau anti tidak mau cerita, mbak hanya takut terjadi hal yang tidak
mbak inginkan terhadap anti ”
Suasana pun hening, tak sepatah kata pun keluar
dari mulutku, yang tadinya begitu banyak hal yang ingin aku tanyakan tiba tiba
menghilang begitu saja, aku diam pun mbak Zara demikian, tiba tiba ada Ha Pe
yang berdering didalam kamar mbak Zara, tanpa perlu beranjak ustadzah Liesa
menghantarkan Ha Pe itu pada pemiliknya
“
Zara, Ha Pe anti ada yang memanggil ni ” sembari disodorkannya Ha Pe itu pada
mbak Zara, dan setelah itu ustadzah Liesa kembali masuk ke kamarnya seakan
tengah ditunggu oleh sesuatu dari dalam kamarnya
“
sebentar dik, mbak mau terima telepon dulu ” pamitnya padaku
“
Assalamu’alaikum ”
“
…………………? ”
“
ini kebetulan lagi duduk duduk saja, akhie ”
“
……………….. ? ”
Mendengar mbak Zara memanggilnya ‘akhie’ aku
mengalihkan pendengaranku, sengaja ku tidak ingin mendengar pembicaraannya, aku
berniat ingin pergi saja menemui Nina untuk mengajaknya ke lantai atas, tapi
mbak Zara mencegahku karna ternyata dia sudah selesai mengobrol dengan
seseorang dalam teleponnya.
“
mbak ingin menceritakan sesuatu sama anti,dik ” katanya tiba tiba
“
cerita apa, mbak? ” tanya ku penasaran setelah melihat dia nampak begitu serius
Lalu mulailah dia bercerita
“
mbak memiliki kenalan disini, dik. Tentu saja dia bukan kenalan seperti kenalan
mbak biasanya, dia adalah seorang rojul yang tiga tahun lalu pergi meninggalkan
tempat ini, sebenarnya waktu itu mbak mimang sudah mengenalnya tetapi tidak
mengenal dia secara pasti, karna dulu status mbak disini adalah seorang santri,
begitu juga dengan dia. Kita hanya sebatas tau sama tau sampai akhirnya dia
pergi menuntut ilmu ke ma’had yang lebih tinggi, tentulah waktu itu mbak merasa
ada yang hilang, namun mbak tidak tau apa yang harus mbak minta pada-Nya, mbak
hanya berdoa agar Allah kembali mempertemukan kita kembali ”
Ku melihat matanya berkaca, aku sama sekali
mengira bahwa mbak ku ini adalah wanita yang belum pernah jatuh cinta, ternyata
dugaan ku salah, air matanya berlinang seketika lalu ia melanjutkan
“
ternyata doa doa mbak selama ini terkabulkan, beberapa minggu yang lalu mbak
bertemu dengan dia ” kali ini dia tersenyum berhias, ada perasaan ria dalam
hatinya
“
dia sudah kembali dan sekarang ada di ma’had ini ”
“
kemarin dia menemui mbak dikantor sekretariat saat mbak tengah membereskan
berkas ma’had, dia mengungkapkan perasaannya yang selama ini tertunda ”
“
subhanallah… allah sangat sayang terhadap mbak dan dia, ana tau kalau mbak juga
memiliki rasa yang sama seperti dia ” kataku senang mendengar mbak ku ini telah
menemukan tambatan hatinya
“
iya, dik.. mbak sangat senang mendengar dia mengatakan hal itu ”
“
lalu siapa nama dia, mbak? ” tanya ku tidak sabar
“
dia biasa mbak panggil dengan nama Akhie Mukhlis ” jawabnya bangga
“
kapan kapan kenalin ana dengannya, mbak. Ana jadi penasaran seperti apa dia
sampai sampai membuat mbak ana ini tidak berhenti memikirkannya ” canda ku
iseng
“
iya, dik.. pasti. Mbak akan memperkenalkan dia dengan anti, insyallah dalam
waktu dekat ini dia akan meminta restu pada abi dan umi dirumah ”
“
benarkah?, secepat itu? ” tanya ku memastikan
“
iya mimang harus cepat, dik. Keburu didului orang ” katanya sambil tertawa
kecil
“
tapi dijamin ganteng, kan ?
J
”
“
pastinya ” jawabnya yakin
Aku ikut bahagia mendengar kabar ini, seketika aku
melupakan semua masalahku, melihat mbak Zara bahagia aku jadi ikut bahagia,
karna keasikan mengobrol tanpa terasa bahwa malam telah larut
“
sepertinya sudah malam, dik. Kita lanjutin lain waktu saja pembicaraan kita,
anti istirahat gih, besok subuh jangan sampai tidak ikut berjamaah lho ” katanya
sambil melihat jam yang melingkar di tangan kirinya
“
baiklah, mbak. Ana mau balik dulu ”
“
Lho anti nggak tidur ma’i, dik? ”
“
nggak, mbak. Ana mau tidur dikamar ana saja, kasian Nina sendirian ” alasanku
konyol
“
siapa bilang dia sendiri, disana kan
masih ada Lia ” timpalnya
Aku hanya tersenyum dan sepertinya dia mengerti
bahwa aku mimang mencari alasan untuk tidak menginap dikamarnya, dia masuk
kamar lalu mengucapkan salam dan selamat istirahat padaku.
***
Aroma pagi kembali merekah segar membawa
ketenangan, perlahan embun kandas termakan cahaya abadi itu, ditimur sana dia muncul dengan
gagahnya, memimpin hari melewati setiap rintangan, dia berseru dengan lantang
mengajak alam bercanda gurau, dia begitu setia mengitari ufuk demi ufuk.
Ku lihat Nina berjalan mendekati ku, seakan dia
hendak menyampaikan berita penting pada ku, aku masih sibuk dengan persiapanku
untuk memasuki kelas
“siska..
aku punya info penting buat anti? ” katanya dengan nafas terputus putus
“
info penting pa? ” tanya ku tidak begitu peduli
“
ini tentang cowo yang buat anti penyakitan ”
“
serius anti, Nina? ” tanya ku dengan nada ingin segera tau
“
seriuslah, dia namanya Faisal ”
“
tau dari mana anti kalau dia Faisal? ” tambahku ingin lebih yakin
“
tadi ana tidak sengaja melihat ustadzah Liesa memanggil dia dipintu gerbang sana , ana dengar ustadzah
Liesa memanggil dia dengan sebutan ustad Faisal, dan dia menoleh ”
“
anti yakin? ”
“ yakin, karna ana melihat
ustadzah Liesa memberikan dokumen dokumen gitu padanya ”
“ anti tau dia mengajar
dikelas apa? ” tanya ku ingin sedikit lebih tau lagi
“ ana tidak tau, siska. Di
ma’had Putra mungkin, dan itu pasti dia mengajar di sana ”
Mendengar berita ini aku sedikit lebih lega dan
sedikit bernafas lega, setidaknya aku tau nama dia
“
sukron, Nin.. anti sudah membantu ana ”
“
la ba’sa ukhtie ”
“
berangkat kekelas yuk ” ajakku pada Nina
Kita keluar dari pintu gerbang asrama dan tiba
tiba dia tepat berada didepanku, kenapa dia bisa ada disini sedangkan ini
adalah wilayah khusus untuk putri, aku menatapnya seakan ingin menyapa dan
mengucapkan salam, tiba tiba aku tidak tau harus bersikap apa, aku berdiri
dihadapannya hanya bisa diam dan diam, demi mengatasi salting ku maka segera ku
membuka obrolan
“
afwan, akhie.. kenapa antum masuk kesini? Selain putri kan tidak di ijinin masuk ” ungkapku sedikit
gugup. Dia hanya membalas dengan senyum, entah apa yang ada difikirannya saat
ini, kemudian dengan tenang dan dengan suara yang sangat datar dia menjawab
hanya dengan beberapa kalimat
“
Afwan, ukhtie… ana tidak sengaja ”
“
?_? ”
“ assalamu’alaikum ”
“ wa’alaikum salam ” jawab
ku dan nina berbarengan lalu dia pergi dan kita berangkat menuju kelas
Aku merasa kessal karna dia seperti tidak
memperdulikanku, namun meski demikian aku merasa senang karna bisa menatapnya
dari jarak yang begitu dekat.
Sejak saat pertemuanku didepan pintu kemarin, aku
lebih sering melihat dia bahkan aku sering disapa oleh dia, entah kenapa dia
bisa leluasa keluar masuk di sekitar ma’had putri, padahal dia tau bahwa dia
tidak boleh berada disekitar ma’had putri, aku merasa dekat dengan dia, aku
merasa ada ketenangan saat berada didekatnya, meski dalam jarak beberapa mil
hati ku seakan termagnet olehnya, tidak bisa sedikitpun lepas dari bayangannya.
Aku tau dan bahkan paham bahwa santri putri tidak
seharusnya selalu bertegur sapa dengan seorang akhwan, aku harus bisa menjaga
pandanganku, tapi sungguh aku tidak bisa, aku tidak merasa bahwa aku telah
melakukan kesalahan dengan selalu keluar asrama tanpa alasan. Sampai dimana
saat mbak Zara mendengar kabar bahwa aku sering keluar asrama hanya demi
bertegur sapa dengan seorang akhwan, aku tau bahwa aku akan mendapatkan
masalah, tapi aku sudah siap karna aku sadar bahwa aku mimang telah melakukan
kesalahan besar.
Nina memberi tahu ku bahwa aku dipanggil mbak Zara
ke kantor para ustadzah, lalu aku memenuhi panggilan itu
“
assalamu’alaikum ” kata ku mengetuk pintu
“ wa’alaikum salam ”
“ siska, ayo masuk ”
perintahnya terdengar tidak bersahabat
Sudah ku tebak ini pasti karna aku sering keluar
masuk asrama tanpa alasan, aku sama sekali tidak berani menatap wajah mbak Zara
yang merah geram, ku menangkap amarah dari wajahnya kali ini
“
siska, tatap mata ustadzah ” pintanya sambil melayangkan tangannya pada daguku
seraya di angkatnya. Aku diam dan telah siap dengan semua resiko yang harus ku
terima
“
kenapa anti melakukan ini,siska? ”
“ anti bukan hanya
mempermalukan diri anti sendiri, tapi anti juga mempermalukan ana karna anti
adalah adik dari seseorang yang mereka panggil ustadzah, mbak tidak tau harus
berbuat apa atas kesalahan anti kali ini, ana akan serahkan anti pada pimpinan
ma’had, ana tidak bisa menutupi kesalahan anti karna anti sudah keterlaluan ”
“ afwan, mbak ” hanya kata
kata itu yang berhasil ku ucapkan
“ apa alasan anti
melakukan ini? ” masih dengan mata berkaca
“ ana mencintai akhwan
itu, mbak ” jawab ku terisak, aku tak kuasa menahan perih yang ku rasa dan
tangispun pecah, meleleh membasahi seluruh batin ku, lebih sakit lagi hatiku
karna ku tau perasaanku tidak akan pernah mendapatkan restu dari undang undang
ma’had.
Tiba tiba saja pak Kiayi
selaku pimpinan ma’had datang bersama Faisal, jadilah aku semakin kaget, ini
semua salahku dan Faisal tidak boleh ikut mendapatkan hukuman, jika saja aku
bisa meminta maka cukup aku saja yang mendapatkan sanksi dan jangan faisal. Aku
tidak punya keberanian untuk membela diri dihadapan pak pimpinan, aku hanya
bisa menahan cairan bening yang terus mengalir dari kesakitan ku
“ Zara, jangan anti
teruskan ” kata pak kyai tiba tiba
“ benar,ustadzah.. dia
tidak melakukan kesalahan seperti yang ustadzah kira ” faisal membelaku
“ Siska, anti boleh keluar
sekarang ” kata pak kyai mengijinkan
Aku masih bertanya tanya kenapa pak kyai
membiarkanku begitu saja, bahkan aku sama sekali tidak ditegur, lalu Faisal..?,
apa yang akan terjadi dengan dia, apa mungkin dia yang akan mendapatkan
hukuman. Benakku terus dipenuhi dengan beberapa pertanyaan, lalu kuputuskan
untuk kembali kekantor dan tiba tiba saat aku hendak membuka pintu aku tidak
sengaja mendengar percakapan mereka
“
Zara, minggu depan kami sekeluarga akan menemui keluarga anti, untuk meresmikan
hubungan anti dengan mukhlis ” kata pak kyai yang begitu jelas ditelingaku
Hanya kata kata itu yang ku dengar, ku merasa
bahwa ada yang mendekat menuju pintu, cepat cepat aku pergi dan ternyata pak kyai
yang keluar, tapi kenapa faisal tidak ikut keluar, apa yang terjadi. Lalu aku
kembali mendekati pintu dan
“
anti seharusnya bisa mengontrol diri anti anifan, kasian siska sampai nangis
begitu ”
“
akhie, ana malu pada santri yang lain karna adik ana sendiri bertingkah seperti
itu, siska sering keluar masuk asrama tanpa alasan yang jelas sampai akhirnya
ana tau bahwa dia keluar hanya untuk menemui seorang akhwan ”……. “ dan saat ana
menanyakan alasannya dia menjawab tenang yaitu karna dia mencintai akhwan itu ”
jelasnya
“
apa? Dia keluar untuk menemui akhwan ? ” faisal terperajat
“ ana tidak melarang dia
mencintai siapapun, asal jangan pernah melupakan statusnya sebagi santri yang
harus menaati undang undang ma’had ”
Faisal jelas tau dan mengerti sekarang, bahwa
akhwan yang dimaksud sering siska temui adalah dirinya.
“
anti tau siapa orangnya ?” ungkap faisal ingin tau
“ ana tidak tau, akhie ”
“ ya sudah lupakan saja,
tadi kan abi
bilang bahwa kami sekeluarga akan menemui keluarga anti minggu depan, anti
siapkan diri saja untuk acara kita ”
Seketika air mataku tak terbendung, aku pergi
berlari menuju lantai atas gedung, aku tidak percaya bahwa ini adalah kenyataan
yang harus aku terima, aku duduk dipojok bangunan ma’had lalu merenungi semua
yang telah terjadi
‘
Abi? ’ faisal tadi menyebut pak kyai dengan kata abi, lalu mbak Zara yang
memanggilnya akhie, hubungan yang akan diresmikan, jadi selama ini yang
dimaksud mukhlis itu adalah faisal, lalu kenapa aku baru mengetahuinya..
Isak ku pecah dalam kesendirian, aku tak kuasa
menahan sakit ini, ada yang meleleh dibalik tabahku, aku tidak terima bhwa
faisal adalah mukhlis, aku tidak percaya bahwa faisal anak dari pimpinan ma’had
ini, lalu aku berteriak tanpa sadar. Tangis ku tak mampu lagi aku tahan, tiba
tiba ada tangan yang menyentuh pundakku dari belakang, Nina datang lalu ia
kupeluk erat, aku ingin sekali mengadu padanya tentang rasa sakitku, lama ku
berada dalam pelukannya, dia seakan mengerti apa yang ku rasa, dia melepas
pelukanya lalu memegang kedua pipiku yang tengah basah oleh air mata, dia
menatapku sejenak lalu “ Kuatkan hati anti, siska ” tangisku pecah seakan ingin
membelah langit dan menembus ruang tertinggi, Nina kembali memelukku.
***
Mungkin ini adalah kisah akhir dari storyku, sudah
tiba saatnya dimana Faisal dan mbak Zara disatukan, diikat oleh sebuah janji
pada ilahi yang bertabirkan ijab. Keluarga Faisal telah datang dan mbak Zara
benar benar terlihat begitu cantik dan anggun dibalik gaun putih tertutup yang
ia kenakan, serasi mimang dengan Faisal yang gagah.
Aku hendak masuk kamar dan tidak ingin mengikuti
acara ini, tapi mbak Zara tiba tiba menemui ku dan mengajakku masuk kekamarnya
“ dia dan keluarga telah
tiba, mbak. Ana ucapkan selamat buat mbak dan semuga mbak bahagia ” kata ku
mengikhlaskan, meski sungguh aku tak punya kekuatan lagi untuk membohongi
diriku betapa sakit hati dan batinku, dia menatapku dalam, ku melihat ada yang
meleleh dari matanya, mutiara itu terjatuh seketika lalu dia merangkulku
“ kenapa anti tidak terus
terang,dik?, bahwa akhwan yang anti cintai adalah Mukhlis? Kalau saja anti
mengatakannya sejak awal, maka mbak tidak akan pernah merebut cinta anti dari
genggaman anti ” katanya sambil menahan isak, masih dalam dekapannya akupun tak
mampu berucap, aku tak mampu lagi berdalih, mbak Zara.. aku sangat
menyayangimu. Hanya itu yang ku rasa saat ini.
“ maafkan ke egoisan mbak,
dik. Maafkan karna mbak harus merebut dia dari anti ”
“ tidak, mbak.. ana yang
seharusnya minta maaf, seharusnya ana tidak mencintai dia karna dia hanya akan
mencintai satu nisaa yaitu mbak Zara ”…… “ aku tidak tau bahwa dia adalah
Faisal Mukhlis, yang juga anak dari pimpinan ma’had, ana benar benar telah
melakukan kesalahan ”
Perlahan ku melepaskan diri dari dekapannya, ku
coba menyemangatinya dengan senyum kekuatan, aku rela dan rela melepaskan dia
untukmu saudara ku, aku yakin dia akan jauh lebih bahagia bersamamu, sekarang
saatnya kau temui calon imammu, berbaktilah padanya dengan sepenuh hati
“
kalau begitu mbak sekarang temui para tamu, biar ana antar keluar ” … “ tapi
air matanya dihapus dulu ” tambahku
“
anti harus berjanji, dik. Bahwa anti akan mencari akhwan yang lebih baik dari
Muklis ” katanya menguatkanku, aku mengangguk kecil dan tersenyum seakan
menyanggupi permintaannya, meski aku sendiri tidak yakin akan ada akhwan
seperti Faisal Mukhlis
Dia duduk dipelaminan bersama seseorang yang aku
cintai, antara rela dan tidak aku memilih untuk pergi dan tidak mengikuti acara
sampai selesai, ku menangis sejadi jadinya dalam kamar, aku tau bahwa semua ini
salahku, semua ini karna aku yang mencintai kekasih saudaraku sendiri, tapi
biarlah,,, biar perasaan ini bersatu bersama semua kenanganku, dia mungkin
mimang tak dapat ku miliki, tetapi aku, aku akan tetap mencintainya meski ku
harus sakit menerima kenyataan bahwa dia adalah suami kakak ku sendiri.
“ Selamat jalan cinta, semuga kalian bahagia ”
THE
END
Langganan:
Postingan (Atom)